Oleh: Dr. Abdul Aziz Kahil
PENAPEMBAHARU.COM — Seorang Muslim adalah orang yang memiliki kepercayaan rasional, bukan seorang darwis (sufis) yang didorong oleh takhayul, bukan juga ateis materialis yang mengabaikan ketetapan Allah SWT dan takdirnya. Alam semesta ini diciptakan oleh Allah dan berjalan sesuai dengan hukum yang telah ditentukan (hukum alam), tidak berganti dan tidak berubah. Dengan demikian manusia dapat mempelajarinya dengan cara meneliti, mengamati, dan bereksperimen. Dan hikmah ilahiyah menuntut bahwa kehidupan di Bumi ini tunduk pada ketegangan yang melanda alam dari waktu ke waktu. Ada gempa bumi, banjir, gunung berapi dan epidemi, sebagaimana halnya diri manusia yang ditimpa berbagai penyakit.
Bencana alam ini bisa diketahui penyebab dan pergerakannya oleh para ilmuwan tertentu, oleh karena itu mereka mencoba untuk memprediksi, mencegah, dan bersikap positif dengan bencana tersebut apabila terjadi. Maka ada penjelasan ilmiah untuk setiap fenomena alam di mana semua manusia sepakat dan tidak ada celah untuk meragukannya atau menyangkalnya dengan berdalih agama. Ia adalah ilmu yang akurat atau mendekati akurat, yang dikuasai oleh para ahli geologi, laut, biologi, dan ilmu-ilmu lainnya yang merupakan spesialisasinya.
Ini adalah visi ilmiah yang menjelaskan fenomena tersebut, tetapi tidak mampu mengendalikannya karena tidak mampu menafsirkan penciptaan dan mengendalikan hukum-hukumnya (contohnya para ilmuwan dan bahkan masyarakat biasa mengetahui unsur-unsur yang membentuk air dan mengetahui siklus hujan dari mulai penuapan hingga menjadi air, tetapi mereka tidak mampu membuat hujan buatan) … Inilah perbedaannya: semua orang mengikuti penjelasan ilmiah, bahwa bencana tidak hanya menimpa yang tidak taat saja, namun datang secara berkala di semua benua dan kepada semua manusia, bahkan beberapa shahabat radhiyallahu anhum meninggal karena epidemi, akan tetapi perselisihannya terletak pada tingkat lain yang merupakan unsur keimanan yang selalu melampaui ilmu materi walau tidak menolak atau mengurangi nilainya.
Perhatikan firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا * ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا يَسِيرًا
(الفرقان 45 – 46)
“Tidakkah engkau memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan sekiranya Dia menghendaki, niscaya Dia jadikannya (bayang-bayang itu) tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk, kemudian Kami menariknya (bayang-bayang itu) kepada Kami sedikit demi sedikit.” (Qs. Al Furqon: 45-46).
Allah tidak berkata أَلَمْ تَرَ إِلَى الظِّلَّ “Tidakkah kamu melihat ke bayang-bayang?” Tapi Ia berkata أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah…”. Ayat ini membawa kita dari fenomena alam kepada Allah SWT, yang telah menciptakannya dan mengaturnya sesuai dengan hukum yang Ia tetapkan … dari alam semesta ke Pencipta, seperti kata Ibn Ataaillah Al-Iskandari. Jadi orang yang beriman tidak hanya terhenti di fenomena alam – Corona, misalnya – tetapi dengan imannya ia mengembalikannya kepada Allah, yang Maha Menyembuhkan, Maha Menyingkapkan segala bahaya, dan Maha Mengangkat segala musibah. Maka orang beriman harus senantiasa berusaha melakukan pencegahan, pengobatan, jika ia hidup, maka ia hidup dalam damai dengan takdir Allah, dan jika ia mati, maka ia harus ridha dengan ketetapan-Nya, karena “yang tidak mati oleh pedang, akan mati oleh selainnya”.
Dan perhatikan bagaimana kisah Nuh dengan putranya, keduanya berada di hadapan banjir besar, namun keduanya menyikapinya dengan cara yang berbeda:
قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ (هود : 43
“Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.” (Qs. Hud: 43)
Anaknya berkata: “Aku akan naik ke gunung yang bisa melindungiku dari air.” Adapun Nuh, visinya penuh dengan keimanan – yaitu, transendensi penjelasan ilmiah kepada hakikat besar yaitu “ketetapan Allah” – ia berkata, “Tidak ada yang mampu melindungiku saat ini dari ketetapan Allah”.
Perhatikan, Apa perbedaan antara keduanya? yaitu pandangan materialistis di mana penafsiran ilmiah hanya terhenti padanya, tidak melampaui fenomena, akan tetapi pandangan keimanan membuat orang mawas dengan kemungkinan berubahnya suatu fenomena menjadi adzab duniawi yang dipercepat. Bacalah ayat berikut:
فكلا أخذنا بذنبه فمنهم من أرسلنا عليه حاصبا ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من خسفنا به الأرض ومنهم من أغرقنا وما كان الله ليظلمهم ولكن كانوا أنفسهم يظلمون
(العنكبوت: 40)
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzhalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri.” (Qs. Al Ankabut: 40)
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya”, yang berarti ini adalah hukuman yang dipercepat Allah kepada mereka. Maka Ia mengubah fenomena alam menjadi tentara dan alat penderitaan dan penghancuran. Ini terjadi di masa lalu dan dapat terjadi kapan saja, dan jika orang kafir tidak peduli tentang hal ini maka orang beriman akan menjadikannya sebagai suatu kesempatan untuk berkorban dan bertobat serta memperbarui hubungannya dengan Allah baik secara individual maupun kolektif.
فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا ولكن قست قلوبهم وزين لهم الشيطان ما كانوا يعملون
( الأنعام :43 )
“Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan”. (Qs. Al An’am: 43)
” فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا “, “Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka?” … kadang fenomena alam bukan merupakan suatu hukuman, namun ia adalah cobaan untuk mengingatkan orang-orang yang lalai dan berdosa, serta membuka pintu pertobatan bagi orang-orang yang bermaksiat, atau mungkin ia adalah pelajaran bagi mereka yang berlaku sewenang-wenang agar ia mengetahui kapasitas dia yang sebenarnya, bahwa dia adalah hamba yang lemah dan tidak berdaya. Ala kulli hal, ia merupakan kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita dengan Alquran, Sunnah, dan menyambut seruan Allah dengan doa, puasa, shalat, dan berbuat baik.
Ilmu pengetahuan sedang mencari solusi untuk menangani epidemi, namun sebelum segala sesuatu Allah SWT berfirman:
وعلى الثلاثة الذين خلفوا حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه ثم تاب عليهم ليتوبوا إن الله هو التواب الرحيم
(التوبة : 118 )
“dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Qs. At Taubah: 118)
Corona bukanlah epidemi pertama yang menimpa umat manusia, insya Allah kita akan terbebas darinya, kami berharap orang yang menemukan penawar corona adalah seorang Muslim, maka anda melihat betapa pentingnya para ulama dan tidak berartinya orang-orang kaya, artis dan para pemain?
Dari pada kita panik dan tegang, lebih baik kita berupaya melakukan pencegahan, menyebarkan ketengan dan meningkatkan keimanan kepada Allah untuk menghadapi ketakutan dan kecemasan.
{قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}
( التوبة : 51)
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.” (Qs. At Taubah: 51)
Dengan demikian kita menggabungkan dengan penuh keselarasan antara tafsir ilmiah — kita memahami fenomena, pencegahan, pencarian obat — dengan pandangan keimanan … Jika keimanan kita tidak nampak dalam kondisi ini, lantas kapan lagi?
Saya akhiri tulisan ini dengan taujih nabawi:
عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال قلت يا رسول الله ما النجاة؟ قال صلى الله عليه وسلم : “أمسـك عليكَ لسانكَ وليَســعْـكَ بَـيـتـُـك وابـكِ على خطــيـئـتـكَ) رواه أبو عيسى الترمذي.
Dari Uqbah bin Amir ra, berkata: Aku bertanya, Ya Rasulallah, apa keselamatan itu. Rasulullah bersabda: Tahanlah (jagalah) lidahmu, hendaklah melapangkanmu akan rumahmu dan menangislah karena kesalahan-kesalahanmu. (HR. Tirmidzi)
“Tahan lidahmu”: Tidak boloeh menyabarkan hoax,
“rumahmu melapangkanmu”: tinggal di rumah,
“Menangislah karena dosamu”: bertobat dan mohon ampun.
Demikian … Akankah kalangan islam liberal nyinyir dengan kalimat di atas?
Alih Bahasa: kru PENA PEMBAHARU
Sumber: islamonline