Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah Isra Mi’raj adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Bukhori dalam shahihnya. Disebutkan bahwa nabi memasuki masjid al-Aqsha lalu solat dua rakaat di dalamnya. Kemudian Jibril datang kepadanya seraya membawa segelas khamr dan segelas susu (dan madu). Dan Rasulullah Saw memilih susu. Lalu Jibril berkata, “engkau telah memilih fitrah”. Disebutkan juga Rasulullah Saw menerimanya saat berada di SIdratul Muntaha.
Kala itu ayat-ayat ahkam belum banyak diwahyukan. Al-Quran turun diproyeksikan bertahap, dan ayat yang menguatkan keimanan dan aqidah umat Islam banyak diturunkan. Sesuai dengan kebutuhan dakwah saat itu, bahwa untuk menaklukan hegemoni Jahiliyah tidak seperti membalik telapak tangan. Perjuangan tidak usai setelah memenangkan peperangan. Apalagi secara kuantitas umat islam ibarat bumi dan langit jika dibandingkan dengan Quraisy.
Namun sebagai manusia yang mulia, yang terjaga sejak sebelum lahirnya Muhammad Saw memiliki kecondongan kepada segala kebaikan. Setiap ketentuan langkahnya akan mengarah kepada fitrah. Khamr bukan minuman yang diharamkan saat itu. Dengan pilihan yang dihadapkan, ada kesempatan 50% untuk memilih khamr. Tapi itu tidak terjadi. Rasulullah Saw memilih susu dari pada khamr mengikuti fitrah sejati sebagai manusia.
Hal ini merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah yakni agama aqidah dan seluruh hukumnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia. Di dalam Islam tidak ada sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat manusia. Seandainya fitrah berbentuk jasad, niscaya Islam akan menjadi bajunya yang pas. [1]
Lalu dikisahkan juga Rasulullah melanjutkan perjalanan menuju langit. Di setiap tingkatan langit ia bertemu dengan para nabi di setiap tingkatnya. Mulai dari Adam as, Yahya as, Isa as, Yusuf as, Idris as, Harun as, Musa as, hingga bapaknya nabi yaitu Ibrahim as di langit ke tujuh. Ia mengucapkan salam, lalu para nabi membalassnya “selamat dating wahai saudara yang shaleh dan juga nabi yang shaleh”.
Rasul pun sampai di sidratul muntaha dan kembali melalui tingkatan-tingkatan langit tersebut. Saat ditanya oleh Musa as tentang apa yang diperintahkan, Rasul menjawab, “aku diperintahkan untuk menunaikan solat lima puluh kali setiap harinya”. Musa as mengingatkan betapa sulitnya saat hal yang sama diterapkan kepada umatnya saat itu. Rasul pun kembali dan meminta keringanan hingga akhirnya menjadi lima kali setiap harinya.
Perjalanan ini hanya dirasakan oleh orang-orang istimewa dan mulia dihadapan-Nya. Maka pesan yang diberikan pun merupakan hadiah yang berharga bagi siapapun yang menerimanya. Setelah jaminan dakwah di Mekah lenyap bersama meninggalnya Abu Tholib, lalu istri tercinta tempat ia mengadu dan mengeluh dipanggil Allah Swt. Daya juang itu tidak pernah hilang. Ia melanjutkan perjalanan menemui bani Tsaqif demi melindungi Islam dan pengikutnya, namun berakhir dengan mengenaskan. Kemudian jawaban dari ujian yang bertubi-tubi itu adalah sholat.
Bukan ribuan pasukan, bukan perlengkapan perang, bukan jaminan para penguasa. Resah dan gelisah yang menggumpal dalam hati, dendam yang membara atas cacian dan siksaan. Semua dijawab dengan sholat lima waktu dalam sehari. Sebab itulah kedudukan sholat bukan hal sepele. Ia menjadi tiang bagi berdirinya agama Islam. Ia adalah jawaban dari setiap tantangan dan ujian yang dihadapi manusia.
Oleh karena itu, sholat dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia. Salah satu perintah yang diberikan oleh Allah Swt tanpa perantara malaikat Jibril. Sudah semestinya umat Islam menyadari pentingnya sholat di tengah musuh-musuh yang menghinakan Islam. Sebab sholat menjadi jawaban yang aktual saat Rasulullah menjalani ujian-ujian yang sangat berat, sehingga berhasil menjawabnya dengan hijrah dan berdirinya negara Madinah.
Wallahua’lam bisshowab.
[1] Sirah Nabawiyah, M Said Ramadhan Al-Buty, 141.