Oleh: Prof. Dr. Ali Al Salaby
Keempat: Bagaimana dalam sejarah hidupnya umat Islam menangani epidemi ?
Dalam gelombang wabah Emmaus, diceritakan bahwa umat Islam menyikapinya sesuai dengan tuntunan Nabi SAW tentang epidemi: “Jika Anda mendengarnya di suatu wilayah, maka jangan mendatanginya, dan jika ia menyebar ke suatu wilayah, dan Anda berada di dalamnya, maka jangan keluar karena ingin menghindarinya”
Hadits Nabi di atas memberikan isyarat yang jelas atas apa yang tengah diterapkan hari ini baik secara ilmiyah maupun praktis terkait dengan karantina untuk menghadapi epidemi.
Di sini Rasulullah tidak hanya sebatas memerintahkan mereka untuk tidak datang ke wilayah yang terkena, terapi juga memerintahkan orang yang berada di wilayah yang terkena wabah agar tidak meninggalkannya, dengan yuan untuk mencegah penyebaran infeksi dan epidemi ke daerah lain. Dengan demikian, hadits ini mengandung ijaz nabi yang bisaa dimasukan ke dalam daftar thibbun nabawi .
Maka berdasarkan pada hadis di atas, Umar bin Al-Khattab R.A. pulang ke Madinah dan tidak jadi memasuki negeri Syam, padahal beliau bermaksuk untuk mengunjunginya. Dan itu bukan pelarian dari takdir kematian. Sebagaimana beliau menjawab Abu Ubaidah bin Jarrah ketika dia bertanya kepadanya tentang alasan kembalinya ke Madinah, “Apakah anda ingin lari dari takdir Allah?” Umar bin Al-Khattab menjawab: “Jika orang lain yang mengatakan ini, ya, kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah ..”.
Oleh karenanya sebagian ulama membolehkan untuk pergi keluar, dengan catatan tidak bermaksud lari dari takdir Allah dan tidak meyakini bahwa pelariannya tersebut akan membebaskannya dari kematian. Akan tetatapi orango yang pergi ke luar untuk kebutuhan mendesak, maka hal itu diperbolehkan, juga orang yang keluar untuk berobat diperbolehkan, karena meninggalkan Daesh yang terrena epidemi, dan pergi ke daerah yang sterile dari epidemi, sangat dianjurkan dan diperintahkan.
Al-Faruq kemudian meminta Abu Ubaidah untuk memindahkan umat Islam dari daerah gelap di mana ada banyak air dan rawa-rawa ke daerah bersih nan tinggi, seketika Abu Ubaidah pun melakukannya. Dari sini, ia belajar bagaimana mencegah epidemi dan menghindari sumber atau tempat penyebarannya. (Al-Salabi, 2005, hal. 233).
Sementara Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan para sahabat lainnya tetap tinggal di Syam dan tidak keluar darinya sejak wabah itu menimpanya. Dan sebagian ulama ada benarnya ketika menyebutkan hikmah dari pelarangan pergi meninggalkan wilayah wabah untuk menghindari wabah: bahwa jika semua orang berbondong-bondong pergi untuk menghindari wabah, mereka yang tidak mampu pergi karena terpapar penyakit yang disebutkan di atas atau yang lainnya – akan kehilangan maslahatnya, karena tidak ada yang memperhatikan mereka baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dan kalau ditetapkan harus keluar maka hanya yang kuatlah yang bisa keluar. Hal Itu akan menghancurkan perasaan orang-orang lemah. Dan para ulama berkata: hikmah dari ancaman bagi yang melarikan diri dari merangkak, karena bisa menghancurkan perasaan mereka yang tidak mampu melarikan diri, dan memberikan rasa takut kepadanya dengan kelemahannya.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa epidemi di atas tidak hilang kecuali setelah Amr ibn al-Ash R.A. menjabat sebagai Gubernur Syam hingga ia berkata kepada masyarakat: “ wahai masyarakat! Jika rasa sakit ini ada, ia akan nampak seperti api yang menyala, maka menjauhlah darinya ke pegunungan. “
Seketika beliau pun pergi, masyarakat pun keluar menuju gunung, yang membuat mereka terpencar, hingga Allah mengangkat epidemi itu dari mereka. Apa yang dilakukan Amr sampai kepada Umar, dan beliau tidak menyalahkan apa yang dilakukan gubernurnya.
Di sini, kami menemukan bahwa ia menyarankan orang yang terinfeksi untuk berpisah satu sama lain dan tidak berkumpul, untuk mengurangi tingkat penularan infeksi, dan agar penyakit tersebut tidak menghancurkan mereka secara komunitas, melainkan hanya mereka yang terinfeksi yang menjadi korban, sedangkang yang lainnya tetap terisolasi dari infeksi (Al-Salabi, 2005, 231-232).
Umat Islam kemudian mengembangkan metode dalam menghadapi wabah/ epidemi. Di era Mamluk, untuk menghadapi penyebaran epidemi yang telah banyak menimpa masyaraka Syam dan Mesir, para Sultan dan orang-orang kaya — dengan niat mengharap pahala dan mendekatkan diri kepada Allah, mereka membangun “bimmerekaat” di kota- kota Syam, untuk menyembuhkan orang-orang yang terjangkit epidemi dan perawatan para korban. Epidemi seperti demam dan lainnya. Hal itu karena banyak orang-orang mati selama periode epidemi, mayat-mayat dibiarkan hingga tiga hari di atas tanah dan tidak ada yang memperhatikan mereka karena takut terinfeksi.
Oleh karena itu penguasa dan para dermawan—sesuai dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk menseggerakan penguburan orang mati agar bisa menjaga kesucian dan martabat mereka– mendirikan apa yang disebut dengan gudang atau tempat memandikan mayat, untuk memandikan dan mengkafani mayat orang fakir dari masyarakat Islam, kemudian mereka dimakamkan menurut hukum Islam (Tarawneh, 2010, 55).
Masyarakat Islam juga tidak melupakan pentingnya mendekatkan diri kepada Allah, berdoa dan berharap kepada-Nya di masa-masa sulit, sehingga orang-orang shaleh dan para ahli ibadah seketika bertobat kepada Allah dan memohon ampunan serta meningkatkan ibadah mereka. Bahkan demi mendekatkan diri kepadanya, beberapa dari mereka mulai menutup toko-toko anggur, dan orang-orang menjauh dari prilaku amoral dan perbuatan salah (Tarawneh) , 2010, 57).
Umat Islam juga memiliki pengalaman dalam menerapkan karantina. Sebelum penyebaran wabah pada 1798 M di Maroko, Maroko dapat menerapkan karantina dan mengambil langkah-langkah pencegahan epidemi yang datang dari Timur. Mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menghindarinya, akan tetapi mereka dapat menunda kedatangannya selama beberapa tahun, wabah ini awalnya bermula di Alexandria di Pada 1783 M. Dan yang menyebabkan penundaan datangnya epidemi adalah serangkaian tindakan yang diambil Sidi Muhammad bin Abdullah untuk melindungi kerajaannya dari epidemi di Aljazair dengan mendirikan zona militer di perbatasan timur Maroko, dan otoritas konsuler yang berada di Tanja pada 1792 M mulai mengambil tindakan pencegahan kesehatan di tepi pantai, setelah ia berhasil mengekstraksi persetujuan Maulaya Sulaiman untuk memaksakan karantina terhadap Aljazair, di mana epidemi telah menyebar pada saat itu (Al-Bazzaz, 1992, hal. 87).
Kelima: Bagaimana kita menangani epidemi Corona sesuai dengan visi Al-Qur’an dan Sunnah mengambil alasan?
Maka sesuai dengan firman Allah SWT:
“ Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Baqarah: 195)
Dengan ridha dan menerima takdir Allah, yang baik dan buruknya, dan dengan meneliti pengalaman umat Islam dan sejarahnya dalam berinteraksi dengan bencana, kita sampai pada beberapa kesimpulan:
– Perlunya melakukan upaya pencegahan dan pengobatan, dengan keyakinan bahwa kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.
– Yakin bahwa ketika kita tertimpa penyakit ini kita akan mendapat pahala dari Allah jika kita bersabar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Epidemi itu adalah kesyahidan bagi setiap muslim.”
Dan kami meyakini bahwa yang meninggal karena virus corona seperti yang meninggal karena epidemi apabila ia memiliki niat syahid, bersabar atas ujian yang menimpanya, dan bersyukur kepada Allah atas segala kondisinya.
– Diperlukan untuk menghindari tempat-tempat infeksi dan mematuhi aturan karantina yang ditentukan oleh pemerintah dan undang-undang. Adapun terkait dengan wilayah epidemi, ada yang ingin tetap tinggal di dalamnya dibelohkan, ada juga yang ingin keluar dari sana itu juga dibolehkan.
Barangsiapa yang berapa di wilayah epidemi, kemudian ia terinfeksi, maka tidak ada gunanya ia keluar dari wilayah tersebut, karena kalau ia keluar ia akan menyebarkan penyakitnya kepada orang sehat. Dan orang yang tidak terinfeksi dibolehkan baginya keluar wilayah epidemi dengan tujuan untuk berobat, supaya tidak semua orang sehat keluar, maka harus ada dari mereka yang menetap supaya bisa merawat orang-orang sakit.
Demikian, perlu diperhatikan pentingnya mematuhi instruksi dan bimbingan badan resmi dan badan medis karena mereka yang paling mengetahui dan ahli tentang rincian penyakit dan efeknya, di setiap negara. Dan sikap saling menjadi di antara manusia sangat penting untuk mengatasi epidemi berbahaya ini.
Artikel pertama: https://penapembaharu.com/2020/03/20/epidemi-dalam-sejarah-islam-dan-bagaimana-menyikapinya-1/
Alih Bahasa: kru PENA PEMBAHARU
Sumber: islamonline
Referensi:
-
أبو الفداء الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية، الطبعة السابعة، 1408ه/ 1988م، مكتبة المعارف، بيروت، ج13.
-
عبد الهادي البياض، الكوارث الطبيعية وأثرها في سلوك وذهنيات الإنسان في المغرب والأندلس (12 – 14م)، الطبعة الأولى، دار الطليعة، بيروت، 2008.
-
علي محمد الصلابي، سيرة أمير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره، (2005)، مؤسسة اقرأ، القاهرة.
-
مبارك محمد الطراونة، الأوبئة وآثارها الاجتماعية في بلاد الشام في عصر المماليك الشراكسة، 2010، المجلة الأردنية للتاريخ والآثار.
-
محمد الأمين البزاز، تاريخ الأوبئة والمجاعات بالمغرب في القرنين الثامن عشر والتاسع عشر، 1992، منشورات كلية الآداب والعلوم الإنسانية بالرباط، جامعة محمد الخامس.
-
موقع قناة الجزيرة، الوباء، شبكة الجزيرة، الدوحة، آخر مشاهدة: 18مارس2020، انظر: https://bit.ly/3d9gmkx
-
نصير بهجت فاضل، الطواعين في صدر الإسلام والخلافة الأموية، 2011، مجلة جامعة كركوك للدراسات الإنسانية.
-
عبدالإله بنمليح، عرض كتاب “جوائع وأوبئة المغرب في عهد الموحدين “، 2002، الجمعية المغربية للبحث التاريخي.