Baca part sebelumnya di http://penapembaharu.com/2020/03/12/masalah-kemiskinan-dan-bagaimana-penyembuhannya-dalam-islam-pandangan-islam-terhadap-kemiskinan-bagian-1/
3. Islam menolak pandangan “kebaikan individu dan pertolongan secara sukarela”
Pandangan ketiga ini aktif menyeru kepada ajakan bersedekah, dan menolong fakir miskin. Mereka melihat bahwa penyelesaian masalah kemiskinan ini ada di tangan orang-orang kaya, oleh karena itu kita harus menyeru mereka untuk menolong. Akan tetapi Islam menolak pandangan ini. Pandangan ini bukan merupakan solusi yang solutif bagi masalah kemiskinan, terlebih jika kondisi orang-orang kaya sekitar telah membatu hatinya, menguat egonya, juga lemah imannya.
Doktor Ibrahim Al-laban membahas dalam penelitiannya, beliau mengatakan model seperti ini telah dilakukan oleh agama-agama samawi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, namun model ini tidak mencabut masalah sampai akarnya, oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari lagi hakikat masalah tersebut agar mampu melihat di mana kegagalan dalam upaya memurnikan masyarakat dari masalah ini.
Terdapat dua sisi yang harus kita lihat, yaitu sisi kewajiban, dan hak. Sebagai contoh dalam jual beli. Harga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan pembeli dalam transaksi, dan harga merupakan hak bagi penjual dalam menentukan. Dalam konteks yang lebih luas, pemilik hak dapat memiliki kekuatannya dari dua pihak; orang yang menuntut haknya dan tidak meninggalkan tuntutannya tersebut, dan kesadaran negara sendiri untuk menunaikan kewajibannya.
Pemahaman ini yang penting untuk dijadikan dasar dalam melihat masalah ini. Bahwa orang-orang miskin memiliki hak untuk ditunaikan kebutuhannya. Selama ini, pandangan ini hanya melihat bahwa orang-orang kaya wajib “memberi”, tapi kita tidak melihat sisi orang-orang miskin yang memiliki hak. Pandangan “kebaikan individu” ini juga tidak bisa mengatur siapa yang dijawibkan berbuat “kebaikan” tersebut, kapan, dan berapa yang harus ia tunaikan? Negara dapat mengatur soal pajak, namun tidak bisa mengatur soal “kebaikan” tersebut. Hal ini pada akhirnya menjatuhkan orang miskin ke jurang kemiskinan yang jauh, dan tidak terdapat sistem yang mampu menanggung mereka.
4. Islam menolak paham kapitalisme
Doktor Qardhawi mengatakan paham kapitalisme adalah paham “Qarun” yang telah kita kenal di quran dengan kisahnya. Ia adalah paham yang salah satunya meyakini bahwa seseorang merupakan pemilik mutlak dari hartanya. Ia bersedekah jika ia mau, menahan uangnya jika ia mau.
Islam menolak pandangan ini dari akarnya. Worldview islam soal harta adalah; harta merupakan pemberian Allah. Manusia hanya pengurus harta tersebut, atau dengan kata lain; manusia adalah wakil dari pemilik harta yang hakiki (Allah), seperti yang termaktub di surah al hadid ayat 7: (wa anfiquu mimma ja’alakum mustakhlifiina fiih) (Dan berinfaklah dari apa-apa yang Allah jadikan kalian sebagai penguasanya (harta).
Dengan kesadaran itu, maka menjadi logis jika Islam mengatur pengelolaan harta tersebut. Menyambung pada pembahasan sebelumnya, negara harus masuk untuk “mengambil” bagian orang miskin dari harta orang kaya dan memberikannya kepada yang berhak
Syaikh Al Qardhawi juga mengkritik sistem jaminan sosial yang dipratekkan di barat era modern. Sistem ini memberikan bantuan berdasarkan seberapa banyak seseorang membayar dalam bentuk angsuran. Siapa yang membayar lebih banyak, maka bisa mendapat kompensasi/jaminan lebih besar, begitu juga sebaliknya, walaupun kebutuhan yang ia miliki banyak.
Adapun sistem jaminan sosial yang diaplikasikan dalam Islam, tidaklah mensyaratkan angsuran seperti yang sebelumnya. Dan ia tidak memberi orang yang membutuhkan berdasar angsuran yang ia bayar, akan tetapi berdasarkan kebutuhannya.
Selanjutnya, kritiknya terhadap jaminan sosial ala barat, akan selalu menemui dua keterbatasan:
1. Tidak meliputi setiap individu yang membutuhkan
2. Keterbatasan dalam memenuhi kecukupan yang sempurna bagi fakir miskin, sebagaimana yang dijamin oleh sistem islam seperti; zakat, dan selainnya (yang akan dibahas di bagian selanjutnya). Ia hanya memberi, entah mencukupi atau tidak mencukupi.
5. Islam menolak paham marxisme
Pandangan ini menganggap bahwa kemiskinan adalah penyakit yang penyembuhannya adalah merisak kelas borjuis, meniadakan prinsip kepemilikan individu, dan mengobarkan perlawanan kelas. Islam menolak pandangan ini dari akarnya, karena bertentangan dengan prinsip dan asasnya.
1. Terdapat golongan orang kaya yang memakan hak dhuafa, fakir, miskin, merusak lingkungannya dengan harta, namun ada pula golongan orang kaya yang mensyukuri nikmat harta, menunaikan hak Allah, dan hak manusia di dalamnya.
QS An Najm:37-38: (Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) (Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya).
2. Islam mengakui prinsip kepemilikan individu, karena di dalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan pokok manusiawi. Tentu saja Islam meletakkan aturan-aturan dalam kepemilikan individu, akan tetapi secara umum, ia menghormati kepemilikan individu dan menjaganya dengan hukum-hukumnya. Serta ia juga menjadikan kepemilikan individu sebagai asas dalam sistem ekonomi.
Adapun kerusakan dan penyalahgunaan harta yang dilakukan, bukanlah prinsip dari kepemilikan individu itu sendiri, melainkan hal tersebut datang dari jiwa manusia. Jika jiwanya baik, maka harta yang ada di tangannya menjadi perangkat untuk kebaikan serta perbaikan.
Nabi bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola oleh orang yang salih (baik).”
Oleh karena itu, pertama-tama Islam mengarahkan pada perbaikan jiwa dan melatih hati agar lurus.
3. Islam membangun hubungan antar manusia dengan asas kekeluargaan, dan tolong-menolong, dan tidak mengakui permusuhan, dan pertentangan antar kelas sosial. Dalam kacamata Islam, dengki, dan dendam merupakan penyakit. Nabi mengisyaratkan dengan “daa’u al umam” (penyakit umat).
“Innama almu’minuuna ikhwatun faaslihuu baina akhawaikum” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah (keadaan) di antara kalian) (QS: Al hujurat:10)
“Wa kuunuu ‘ibadallah ikhwanan” (Dan jadilah hamba Allah dan bersaudaralah) (HR Bukhari & Muslim)
4. Islam tidak menerima penyelesaian masalah dengan masalah yang lain. Komunis mencoba untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mencekik kebebasan rakyat, memaksakan kediktatoran yang kencang. Bisa dikatakan dengan ungkapan yang lain; mewajibkan ketundukan rakyat menjadi lemah, yang dipimpin oleh seorang pemimpin, dengan kekuatan kepolisian dan militer, serta penjara-penjaranya. Dan di kondisi ini, manusia tidak mampu untuk berkata, “kenapa?” kepada negara.
5. Tindakan komunis dan sosialis yang merampas kebebasan rakyat, menasionalisasi kepemilikan individu, dan alat produksi -atas nama kemaslahatan- tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Ia justru menurunkan orang yang berada di tingkatan kaya menjadi miskin, dan tidak mampu menaikkan tingkatan orang miskin menjadi kaya.
Data pendapatan individu per tahun juga menggambarkan bahwa negara komunis tidak bisa mengangkat ekonomi di negaranya sendiri. (buku ini ditulis pada tahun 1966):
Amerika | US$ 1453 |
Kanada | US$ 875 |
Swiss | US$ 749 |
Swedia | US$ 780 |
Inggris | US$ 773 |
Denmark | US$ 689 |
Australia | US$ 679 |
Belgia | US$ 582 |
Belanda | US$ 502 |
Perancis | US$ 482 |
Cekoslovakia | US$ 371 |
Rusia | US$ 308 |
Polanda | US$ 300 |
Hungaria | US$ 269 |
Cina | US$ 27 |
Table 1 Data diambil dari buku Maher Nasim berjudul (An nizham assyuyu’i)
Adapun penyebab terbelakangnya produksi, dan rendahnya pendapatan di negara sosialis yaitu berasal dari tabiat sistem itu sendiri yang mengharamkan kepemilikan individu, dan membunuh ambisi, serta menjadikan individu tidak memiliki nilai dan kebebasan. Hal ini juga yang menjadikannya selalu di bawah negara kapitalis dalam produksi.
6. Ketika kita tinjau marxisme dari asal, maka kita temukan bahwa ia bukanlah ideologi yang memelihara orang miskin, orang yang lemah, akan tetapi ia berorientasi pada kelas proletariat, yaitu para buruh, petani untuk mengambil alat-alat produksi guna membalikkan sistem sosial. Dan ini merupakan golongan yang lain lagi. Tidak terdapat bagian bagi orang yang tidak berdaya, para janda, orang-orang tua, orang yang cacat mental atau fisik. Pandangan ini kemudian sejalan dengan falsafah: “Barangsiapa yang tidak bekerja, maka ia tidak makan.”
Bersambung….
Artikel juga dimuat di blog penulis: www.muammarfarras.blogspot.com