Beberapa waktu yang lalu di kelas, dosen saya merekomendasikan sebuah buku yang terdengar menarik secara judul. “Musykilah al faqr wa kaifa ‘ilajuha fi al islam” (Masalah kemiskinan dan bagaimana Islam mengobatinya). Buku tersebut ditulis oleh Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Saya mencoba mencari bukunya, membaca, dan mengulas bukunya di blog ini.
Syaikh Qardhawi membagi buku ini menjadi empat bagian besar, dan kita hanya akan bahas poin kedua, dan ketiga:
- · Pandangan beberapa golongan terhadap kemiskinan
- · Pandangan Islam terhadap kemiskinan
- · Wasilah penyelesaian kemiskinan menurut Islam
- Kemenangan Islam atas kemiskinan
Kita mengetahui bahwa kemiskinan telah menjadi masalah di segala tempat, sejak dahulu. Berbagai agama dan falsafah telah mencoba mengurai dan menyelesaikan masalah ini untuk meringankan kesulitan orang miskin. Ada yang melihat dengan pendekatan ajakan, ancaman, perintah, dan janji. Ada juga yang melalui pendekatan pandangan terhadap dunia yang ideal, di mana tidak terdapat kelas-kelas sosial, tidak ada perbandingan satu sama lain, tidak ada kemiskinan, dan itu lah dunia yang digambarkan Plato dalam bukunya “Republik”.
Kondisi ini sering dimanfaatkan orang yang ingin menyebarkan paham, atau misinya dengan wajah “melayani orang miskin”. Tentu tujuannya banyak, entah politis, ideologis, atau ekonomi. Menjadi buruk jika orang yang memanfaatkannya memiliki tujuan yang buruk, yang mampu menumpulkan akal pikir mereka, mendegradasi akhlak dan moralnya, memutus mereka ke akses dan pengetahuan politik yang lebih tinggi, sehingga mereka pada akhirnya tetap pada jurang kebodohan dan kesulitan.
Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memiliki ilmu, untuk menjelaskan hakikat ajaran Islam yang merupakan petunjuk hidup dan bersifat rahmah. Menjelaskan hakikat bahwa ia merupakan ajaran yang melihat pada kehidupan, manusia, pekerjaan, harta, individu, dan masyarakat. Menyelisihi paham kanan-kiri. Bebas dan berdiri sendiri. Tidak ketimuran atau kebaratan, namun bersifat ketuhanan dan kemanusiaan.
Pandangan Islam terhadap kemiskinan
- Islam menolak pandangan “kerahiban” terhadap kemiskinan
Islam menolak pandangan yang memandang bahwa kemiskinan merupakan nikmat dari Allah (sehingga tidak membutuhkan solusi atasnya). Tidak terdapat satupun pujian terhadap kemiskinan yang bersumber dari Alquran dan hadis nabi, akan tetapi yang ada yaitu pujian terhadap sifat zuhud. Dan zuhud menuntut kepemilikan atas sesuatu yang di-zuhud-kan. Prinsip zuhud adalah ia meletakkan harta di tangannya, bukan di hatinya. Prinsip islam dalam melihat kekayaan adalah bahwa kekayaan merupakan sebuah nikmat dan wajib menyertakan syukur di dalamnya. Islam memandang bahwa kemiskinan merupakan sebuah masalah yang perlu dicarikan solusinya, karena ia memiliki berbagai dampak:
- Kemiskinan berbahaya terhadap aqidah
Kemiskinan merupakan salah satu “penyakit” yang paling berbahaya bagi aqidah. Terlebih jika orang miskin tersebut adalah seorang pekerja keras yang bekerja dari pagi hingga malam, sedangkan terdapat orang kaya yang memiliki privilege untuk kaya sejak lahir tanpa dibarengi dengan kerja keras. Hal ini menyebabkan prasangka manusia menuduh pada ketidakadilan tuhan dalam pembagian rizkiNya. Sebagian ulama terdahulu berkata: (Jika kemiskinan mendatangi sebuah negara, maka kekufuran berkata kepadanya, “ambillah diriku untuk ikut bersamamu”). Terdapat juga hadis nabi yang mengatakan, “Hampir-hampir kemiskinan menjadi kekufuran”.
- Kemiskinan berbahaya terhadap akhlak dan tata krama
Kemiskinan tidak hanya berbahaya ditinjau dari sisi aqidah, namun juga akhlak. Terlebih jika lingkungan sekitarnya merupakan orang-orang kaya yang tamak, hal ini berbahaya dalam mengantarkan orang tersebut ke perilaku yang tidak sejalan dengan akhlak baik; seperti penjarahan, pencurian.
“Suara yang berasal dari perut lebih kuat daripada suara yang berasal dari hati”.
Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– menjelaskan, “Kerasnya tekanan kemiskinan dirasakan oleh yang menderita, dan bekasnya terdapat di perilakunya.”
Dalam menjelaskan dampak hutang bagi orang-orang yang berhutang, Rasul bersabda: “Sesungguhnya seseorang, jika ia berhutang, ketika ia berbicara, ia berdusta, ketika ia berjanji, ia mengingkari.”
- Kemiskinan berbahaya bagi pemikiran
Tidak cukup berbahaya bagi aspek ruhani, akhlak, kemiskinan juga berbahaya bagi pemikiran. Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya, keluarga, dan anaknya, bagaimana mungkin ia mampu berfikir secara tepat? Bagaimana keadaan anak-anak yang tumbuh dengan keadaan malnutrisi?
Hal ini disebabkan kemiskinan merusak daya pikir, karena ia membuat pikiran dalam kondisi kesibukan memikirkan kebutuhan dasarnya. Emosi mempengaruhi benarnya pemahaman. Nabi pun bersabda, “Tidak ada putusan bagi seorang hakim yang memutuskan dalam keadaan marah”. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan “marah” dalam hadis tersebut dengan rasa “lapar yang parah” dan “haus yang parah”.
- Kemiskinan berbahaya bagi keluarga
Dari sisi keluarga, kemiskinan dapat berdampak dalam beberapa aspek; pembentukannya, keberlanjutannya, dan penyatuannya. Dalam aspek pembentukan keluarga, kita tau bahwa kemiskinan merupakan salah satu penghalang terbesar bagi pemuda untuk menikah. Terdapat banyak pertimbangan, seperti mahar, nafkah, kemerdekaan finansial. Hal tersebut terutama saya temui di Mesir, di mana banyak pemudanya yang belum menikah, karena wali dari perempuan meminta kesiapan finansial yang cukup memberatkan pihak lelaki.
Dari aspek keberlanjutan pernikahan, kita juga melihat bahwa kemiskinan merupakan salah satu pendorong terbesar yang mempengaruhinya. Hukum islam sendiri mempertimbangkan hal tersebut, sehingga hakim bisa memproses talak dari perempuan jika pihak laki-laki tidak mampu memberi nafkah kepadanya, sesuai kaidah fiqih; “la dharrara wala dhiror” (Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan).
Alquran sendiri memotret dengan jelas fenomena yang terjadi di jaman jahiliyah; sebagian ayah yang membunuh anak-anaknya karena takut akan kemiskinan. Seperti diabadikan dalam surah 6:151, dan 17:31.
“Wa laa taqtuluu awlaadakum khasyata imlaaq…” (Dan janganlah kalian bunuh anak-anak kalian karena takut akan kemiskinan) (QS 17:31). Hal ini memperlihatkan bahayanya kemiskinan pada ketahanan keluarga. Jika kita bawa dalam konteks kekinian, kita juga dapat melihat penyebab perceraian terbesar adalah perkara ekonomi.
- Kemiskinan berbahaya bagi kestabilan sosial
Abu dzar –radhiyallahu ‘anhu– berkata: “Sungguh menakjubkan siapa yang tidak menemukan makanan (pokok) di rumahnya: bagaimana mungkin ia tidak keluar dari rumahnya membawa pedang?!”
Perkataan ini betapa daruratnya pemenuhan kebutuhan pokok bagi seseorang, hingga hamper-hampir ketiadaannya menuntun orang-orang untuk melakukan kekerasan demi mendapatkannya. Terlebih jika terdapat ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
- Islam menolak pandangan jabbariyyin
Di samping menolak pandangan “kerahiban”, Islam juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa kemiskinan dan kekayaan adalah takdir Allah yang harus kita terima, dan kita tidak bisa merubahnya. Pandangan ini disebarkan oleh orang-orang kaya, dan diterima oleh orang-orang miskin.
Allah berfirman dalam surah Yasin:47
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu” Orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki, Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Konsep besar Islam dalam memandang pemahaman ini adalah; setiap misteri di dunia ini terdapat penyelesaiannya, setiap penyakit terdapat obatnya, setiap penyakit terdapat penyembuhannya. Penyakit merupakan bagian dari takdir Allah, dan penyembuhan juga merupakan bagian dari takdir Allah. Maka seorang mu’min, ia mendorong takdir dengan takdir yang lain.
Karena itu, Umar Bin Khatthab, ketika ia kembali dari Syam karena takut akan wabah penyakit yang terdapat didalamnya, ditanya oleh seseorang yang bersama dengannya, “Apakah engkau lari dari takdir Allah wahai amirul mu’minin?” Umar menjawab, “Ya, aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.” Sehingga jelas dengan ini bahwa pandangan jabbariyyin ditolak dalam konsep besar Islam. Kita dapat mengusahakan apa-apa yang terkait dengan rezeki tesebut.
Makna qanaah dan ridha
Sering kita mendengar anjuran untuk qanaah dan ridha terhadap apa yang sudah Allah tentukan. Namun apa sebenarnya makna kata ini? Apakah bermakna pasrah dan menerima terhadap kemiskinan? Meninggalkan usaha atasnya?
Di antara doa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang juga kita hapal, “allahumma inni as’aluka alhuda wa attuqo wa al’afaf wa alghinaa”. (Ya Allah, aku meminta kepadamu petunjuk, ketakwaan, kebaikan, dan kekayaan). Di antara doa nabi, yaitu meminta akan kekayaan. Nabi juga pernah mendoakan sahabat dan pelayannya, “allahumma aktsir maalihi” (Ya Allah, perbanyaklah hartanya). Oleh karena itu, apa makna sebenarnya dari qanaah?
Pertama, secara natural, tabiat manusia adalah serakah dan berhasrat pada dunia. Digambarkan dalam hadis nabi, “Jika anak adam memiliki dua lembah berisi emas, ia akan menginginkan yang ketiga. Dan tidak akan memuaskan mata anak adam kecuali tanah (tidak akan puas hingga wafat).” Oleh karena itu agama memainkan perannya sebagai petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi hal ini. Agama menuntun kita untuk seimbang, dan lurus dalam mencari rezeki, melarang untuk berlebihan hingga melelahkan jiwa dan badan secara bersamaan.
Sikap berlebihan ini yang menuntun manusia untuk tidak pernah merasa kenyang, selalu melihat harta sekelilingnya. Sehingga tidak cukup dengan yang halal, ia berpaling ke yang haram juga. Ini lah jawaban dari fenomena korupsi yang sering kita lihat. Apakah pelakunya orang yang kekurangan harta?
Peran iman adalah untuk menuntun manusia untuk mengenal hakikat yang kekal, yang melampaui semua horizon yang kita lihat di dunia. Dengan penanaman kesadaran akan hal yang kekal tersebut, manusia akan lebih realistis, dan seimbang dalam mencari dunianya.
Kedua, hendaknya manusia membandingkan rezeki sebagaimana ia membandingkan bakat. Setiap orang harus sadar bahwa mereka memiliki rezekinya masing-masing. Sebagaimana terdapat orang yang pendek, ada orang yang tinggi, ada orang yang diberi kecerdasan, ada yang tidak, ada yang berfisik kuat, ada yang lemah, begitu juga terdapat orang yang rezekinya dalam bentuk harta banyak, ada yang sedikit. Hal ini bukan mengantarkan kita pada pemahaman jabbariyyin yang pasrah terhadap takdir Allah. Terdapat banyak sekali perintah untuk berusaha dan bekerja, namun kesadaran ini perlu dipupuk agar worldview kita dalam melihat dunia ini lebih sehat. Tugas manusia hanya berusaha semampunya, menjemput apa yang telah digariskan untuknya, tanpa perlu membandingkan dengan pencapaian orang lain. Agama mencegah dan melarang manusia untuk memiliki rasa benci, tamak ketika melihat apa yang dimiliki orang lain. Sehingga secara makna, qanaah adalah penerimaan manusia akan apa yang telah Allah berikan, yang ia tidak mampu untuk merubahnya.
Bersambung…
Artikel juga dimuat di blog penulis www.muammarfarras.blogspot.com