Lobi di Thaif hanya menghasilkan naas bagi Rasulullah saw. Namun sedikitpun tidak menyulutkan semangat dakwah yang tertanam dalam dirinya. Beliau tidak disendirian, sejak awal pertimbangan ke Thaif itu muncul dicarilah naman sahabat yang siap dengan konsekuensi dan siap mengemban amanah perjalanan ini. Hal ini penting sebab hijrah ke Thaif merupakan perjalanan rahasia sebagai strategi untuk memuluskan jalan dakwah yang penuh onak dan duri.
Rasulullah saw harus memilih orang tepat yang akan menemaninya dalam misi rahasia. Dan pilihan itu jatuh kepada Zaid bin Haritsah. Kecintaan yang melahirkan taat, keyakinan yang mengalahkan ragu tertanam dalam hatinya. Di tengah pengkhianatan orang-orang Thaif dimana merek tidak menutupi pergerakan Rasulullah saw Saw justru menyulut amarah hingga Zaid berusaha keras melindunginya, sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Apa yang dilakukan Zaid merupakan contoh seorang muslim terhadap pemimpin dalam dakwah. Proyek yang panjang tidak diselesaikan dengan satu, dua gerakan. Ia akan membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga faktor kepemimpinan dalam dakwah begitu penting. Ia tidak berjalan sendiri-sendiri. Keberkahannya ada pada jamaah. Dan jamaah dikendalikan hasil musyawarah para pemimpin (qiyadah).
Pemimpin memang bukan Tuhan, ia bisa saja salah. Namun ada kepercayaan yang tidak bisa kita tinggalkan bahwa dalam sebuah musyawarah terdapat pelajaran yang berharga, yaitu tawakal. Musyawarah memang tidak menjamin kemenangan, namun itulah keputusan terbaik. Sebab itu para sahabat mengorbankan hidupnya jika memang itu keputusan. Tawakal kita adalah meyakini keputusan sebagai kebijakan terbaik yang ada pada masanya. Adapun keberhasilan dan kegagalan adalah nilai lain yang harus kita terima. Begitulah Zaid menyikapinya.
Zaid bin Haritsah menunjukan pentingnya seorang pemimpin dalam sebuah organisasi. Kesetiaannya menunjukan pemahaman yang kuat terhadap pentingnya dakwah. Upaya tersebut bukan kepentingan personal seorang manusia saja. Usaha perlindungan yang mengucurkan darah-darah di dahi dan keningnya tidak mungkin muncul karena kepentingan manusia belaka. Dalam benaknya ada kepentingan ilahi yang membuat seluruh tubuh dan harta menjadi tidak berarti apa-apa jika dakwah Islam berhenti di Thaif saat itu.
Kita juga melihat berbagai peperangan yang dilakoni para sahabat. Jumlah pasukan tidak lagi menakutkan. Satu berbanding tiga, berbanding sepuluhpun tidak melahirkan keraguan. Islam tidak sekadar agama, melainkan sudut pandang yang sepenuhnya ada dalam mata dan hati. Hal ini juga yang tidak dimiliki orang musuh-musuh Islam.
Perjalanan ke Thaif merupakan strategi dakwah baru yang harus ditempuh kala itu. Sekaligus memberi pelajaran berharga bahwa dakwah sangat fleksibel dan tidak monoton. Keputusannya menunjukan kalkulasi antara kematangan berpikir dan keikhlasan beramal demi berlangsungnya dakwah. Ia keluar dari kebiasaan. Dari mulai sembunyi-sembunyi, terang-terangan, hijrah untuk mendapat perlindungan sekaligus menyebarkan Islam, dan lobi-lobi politik. Termasuk lobi ke Bani Tsaqif di Thaif. Sebuah jalan yang harus ditempuh meski tidak menjanjikan keberhasilan, dan hebatnya Zaid ikut serta dalam ketidakpastian itu.
Begitulah amal dakwah bergerak, tidak penting lagi kemenangan. Sepertinya hijrahnya Rasulullah saw saw bersama Zaid bin Haritsah ke Thaif. Fokusnya pada besaran usaha yang dilakukan. Semakin berat yang harus dilalui, semakin besar semangat yang dipompa, semakin besar pahala di sisi Allah Swt. Sedangkan hasil akan bertumpu pada tawakalnya seorang hamba. Sikap ini melahirkan dakwah yang indah penuh dengan cinta, bukan lagi paksaan. Dakwah akan menenangkan jiwa, karena tidak ada lagi tekanan yang memaksanya harus menang (dengan segera) melainkan usaha dan tawakal.
Wallahu a’lam bisshowab.