Tentang Idlib
Idlib terletak sekitar 130 kilometer dari perbatasan Suriah-Turki, hal inilah yang menjadikan idlib sebagai kota dengan jumlah pengungsi terbanyak di kota mana pun yang ada di Suriah. Jumlah pengungsi di kota Idlib telah mencapai 4 juta orang semenjak kota ini berhasil direbut oleh kelompok oposisi dari rezim Assad pada tahun 2015.
Tahun 2017, Turki, Russia dan Iran melakukan pertemuan di Astana dan menyepakati Idlib sebagai wilayah De-eskalasi (Wilayah bebas konflik). Sayangnya, setelah pertemuan itu, perjanjian tidak diindahkan, Idlib pun secara kontinu mendapatkan serangan demi serangan selama 3 tahun terakhir. Serangan demi serangan inilah yang menjadikan pengungsi-pengungsi Suriah yang jumlahnya hampir mencapai 1,3 juta jiwa bermigrasi mendekati perbatasan Turki sejak awal tahun 2019, dan telah terdapat 1800 orang yang meninggal terkena serangan.
Bahkan dalam bulan-bulan ini tercatat terdapat 188 warga sipil yang tewas dalam serangan tentara Rusia, di waktu yang sama jumlah pengungsi yang mendekat ke perbatasan Turki sudah mencapai 300,000 jiwa.
Mengapa Idlib menjadi Penting?
Kota Idlib pada akhirnya menjadi pusat perhatian dalam perang antara rezim dan oposisi di Suriah. Hal ini disebabkan oleh signifikannya arti kota Idlib bagi kedua pihak. Bagi rezim, merebut Idlib berarti menegaskan kemenangan Damaskus. Selain itu, kemenangan atas kota ini juga akan membawa manfaat ekonomi yang luas bagi Rezim Assad.
Bagi Russia, Idlib adalah kota yang harus dikuasai untuk menyempurnakan pengaruhnya di Suriah. Bagaimanapun, Russia adalah alasan utama mengapa Rezim Assad bisa bertahan hingga sekarang. Selain itu, Russia pun tidak hanya berbicara tentang pengaruhnya di Suriah, tapi lebih jauh dari itu, Russia sedang mengincar penguasaan terhadap wilayah Mediterania.
Sementara itu, Iran juga memiliki kepentingan tersendiri; menjaga pengaruh syiah di suriah yang selama di pegang oleh Rezim assad maka syiah pun masih bercokol sebagai ideologi dasar pemerintah, dan juga agar Suriah tetap menjadi wilayah buffer untuk mencegah konflik sampai pada Iran.
Untuk AS, selain ingin menguasai Suriah melalui Grup YPG-PKK, AS juga ingin membendung pengaruh Russia di Suriah.
Sementara bagi Turki, menguasai Idlib berarti menjaga perdamaian di wilayah Idlib, yang merupakan pusat pengungsi dari berbagai wilayah di Suriah. Karena jika Rezim berhasil menguasai Idlib, maka akan terjadi gelombang migrasi baru. Sementara itu, Turki sendiri merasa tidak lagi sanggup menerima pengungsi Suriah yang jumlahnya sudah mencapai 3,5 juta jiwa (UNHCR). Oleh karena itu, penting bagi Turki untuk bisa menguasai Idlib dan menjaga perdamaian di sana.
Meski tidak bersepakat bahkan bersebrangan dalam masalah Grup YPG-PKK, Turki dan AS bersepakat dalam hal menggulingkan Assad dan menghentikan pembunuhan warga sipil di Idlib. Hal ini terlihat dari Apresiasi Donald Trump pada usaha-usaha Turki.
Pada bulan Januari, PBB menyerukan gencatan Senjata kepada Rezim Assad dan Russia dan menghentikan pembantaian di Idlib. Selain itu, pada bulan desember, Russia dan China memveto proposal negara-negara Uni Eropa pada Dewan Keamanan PBB dalam masalah keamanan di Suriah. Bagi Russia, ini adalah kali ke 13 mereka menolak usulan dari DK PBB terkait dengan Suriah sejak tahun 2011, awal mula perang Suriah terjadi.
Apa yang akan terjadi kemudian?
Dalam wawancaranya di Aljazeera (18/02/20), Pavel Felgenhauer seorang Analis Pertahanan dan Militer di Russia menekankan bahwa eskalasi di Idlib pada akhirnya tidak akan menghadapkan tentara Rezim Suriah dan Tentara Turki. Dari sisi militer, tentara Turki bukanlah tandingan tentara Suriah. Maka yang akan terjadi adalah konfrontasi antara Tentara Turki dan tentara Rusia. Namun, konfrontasi ini sejatinya tidak terlalu menyenangkan baik bagi Turki maupun Rusia, di waktu yang sama, perjanjian damai antara kedua pihak bisa dilakukan namun akan cukup sulit, terutama perjanjian yang akan menyangkut rezim Assad. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian-perjanjian sebelumnya yang selalu dilanggar oleh pihak Rezim. Apa yang akan terjadi di Idlib pada akhirnya akan bergantung pada kompromi-kompromi yang dilakukan oleh Turki dan Rusia.
Selain itu, eskalasi yang kembali pecah akhir-akhir ini, sejatinya dapat membawa dampak buruk bagi Uni-Eropa yang mana Turki telah menegaskan tidak akan lagi menghalangi pengungsi yang ingin pergi ke Eropa, karena ketidakmampuan Turki untuk menanggung lebih dari 3,6 juta Pengungsi yang sekarang menetap di Turki. Hal ini bisa membawa Uni-Eropa dan NATO untuk bersikap kooperatif terhadap operasi militer Turki di Idlib.
Sumber: Aljazeera, TRT.