Kalau Kairo disebut dalam legenda Seribu Satu Malam sebagai Ummu ad- Dunya‒ Ibu Dunia‒ maka ada baiknya apabila kita bertanya tentang si ibu ini langsung kepada anak- anaknya. Sebut saja salah satunya yang bernama Naguib Mahfuzh. Ketika si anak yang jadi pemenang Nobel Sastra tahun 1988 ini diminta untuk menggambarkan ibu kota kelahirannya, jawabannya singkat saja namun mengena: “menggambarkan Kairo itu, seperti bertemu kekasih lama di usia tua.”
Tak heran, menimpali perkataan Naguib yang itu, Max Rodenback, saat menulis buku fenomenalnya Cairo:The City of Victorious, tak sedikit pun merasa canggung ketika harus mengelu- ngelukan Kairo sambil mencacinya di waktu yang sama. Pujian- pujian panjang yang dihaturkan dongeng Seribu Satu Malam tak juga membuatnya urung untuk tetap menceritakan selokan Kairo yang bau, pelayan- pelayan kafenya yang cemberut melulu, Max ingat betul itu.
Lagi pula, benar juga, yang namanya bercerita tentang kekasih lama tentu tak perlu melulu tentang perawakannya yang pernah jelita, perangainya yang imut manja- ceria, ada kalanya bau mulutnya mesti pula kita umbar kembali, begitu pula dengan kerutan- kerutan di wajahnya yang seperti gundukan di Sahara, emosinya yang meledak- ledak mendadak tak karuan, semuanya serasa perlu juga untuk diputar ulang seperti rekaman. Caci saja, buat apa ragu lagi. Apalagi kalau si kekasih ini cuman sekadar mantan.
Makanya, dari tutur panjang Naguib, dan si Max ini, kalau disuruh bercerita tentang Kairo‒ kekasih mereka itu, sebenarnya saya lebih suka menceritakan kerutan-kerutan di wajahnya belakangan hari ini ketimbang kulit mulusnya yang pernah membuat mereka jatuh hati. Karena memang adalah kenyataan yang paling benderang bahwa Kairo yang dulu, bukanlah lagi Kairo yang sekarang. Kecantikan Kairo telah banyak memudar digerus zaman, terutama oleh zaman otoritarian.
Kairo yang hari ini saya tinggali, adalah perwujudan imajinasi John Lennon dan kekasihnya Yoko Ono, ketika menulis Imagine‒ tembang yang senantiasa diperdengarkan jadi anthem perdamaian warga dunia. Saat saya menerawang Kairo dari jendela 80 Coret‒ bis ke kampus al- Azhar, Drrassa‒ saya terbayang manifestasi nyata lantunannya: “Imagine there’s no countries.” Ya, bahkan, saya sudah tidak lagi perlu membayangkannya sebagai utopia, anak- anak Kairo memang‒ sudah seperti‒ manusia tanpa negara.
Saat melihat drama kaum prol, saling caci di jalanan Kairo, saya cukup mengerti untuk bisa sampai mewajarkan. Jelas- jelas wajar, toh kaidah sosialnya memang sesuai kata pariwara: orang bakal “rese kalo lagi laper.” Orang miskin memang mudah tesulut emosi. Namun memang, yang tak wajar adalah saat berkali- kali ‒dari jendela buram 80 Coret‒ saya melihat pertikaian itu selesai begitu saja hanya dengan sekalimat sholawat: “sholla Allahu alihi wa sallam,” tanpa perlu adu pengacara di pengadilan.
Perkara manusia tanpa negara selesai begitu saja di pengadilan jalanan, entah berakhir baku hantam, atau salam- salaman, yang jelas kehadiran perwakilan negara yang memakai baret, berseragam putih dengan kacamata hitam, entahlah, apa benar mereka diperlukan? Atau hanya mempersulit permasalahan? Karena mereka- mereka ini, daripada mengurus perkara- perkara jalanan, cendrung lebih senang mengurus apa yang George Orwell sebut di novelnya 1984 sebagai kejahatan pikiran (thought crime).
Penyempalan, pemberontakan, penggulingan yang‒digadang‒ berakar daripada pikiran, lebih prioritas untuk dibidani daripada sekadar goresan panjang di losbak milik seorang proletar tua Bawwabat tukang sayuran. Tak pelak, razia- razia buku lebih dawam dilakukan ketimbang razia SIM di jalanan. Buku- buku yang tak sesuai dengan cita- cita Bung Besar lebih prioritas untuk ditilang. Makanya hasilnya masuk di akal ketika kata jihad sempat dilumat dari diktat kami, kata- kata adalah senjata yang mematikan.
Di sini Bung Besar, mengatur cara kita berkata- kata; karena kata adalah dutanya pemikiran. Pemikiran yang sesuai dengan kepentingan politiknya, akan menghasilkan kata- kata yang senantiasa memuja- mujinya, mendukungnya, menjelek- jelekkan musuh- musuhnya. Sampai di sini jadilah kita tahu modus operandi media- media di sini‒ bekerja sebagai produsen kebenaran. Persis seperti dikata pendakwah kenamaan dari Riau: “yang betul tanggal dan harganya saja,” sisanya mengikuti kehendak kuasa.
Tak heran, anak- anak Kairo bukan hanya merasa tak punya negara, namun secara sadar memang tak mau banyak- banyak berurusan dengannya. Dan rasanya, kebanyakan kami‒ masyarakat Indonesia di Mesir ‒ telah tertular laten ini. Ketika gawai pintar saya raup dicuri proletar lokal depan flat, seketika itu juga saya merasa dihadapkan dengan sebuah dilema: saat mengadu pada polisi, siapa yang akan ditangkap? Si dia atau saya yang saat itu kehabisan izin tinggal yang pengurusaanya lamanya bukan main.
Oh administrasi, beruntunglah Surabaya masih punya bu Risma yang bisa marah- marah menyoal administrasi “yang birokrasi banget,” kata beliau sambil bertolak pinggang. Di sini, yang seperti itu sudah dianggap biasa terjadi. Baru beberapa minggu yang lalu, kami serombongan dari rumah harus berangkat sedari dini hari ke kampus, mengantri panjang di depan pagar besi; demi mengurus izin tinggal yang lama pengurusannya selama menunggu Anies Baswedan ber- swafoto dengan wakil barunya, kapan kali.
Singkatnya memang kalau bisa dialegorikan secara sederhana lagi terpadu, berada di Kairo itu seperti kembali dengan mesin waktu ke Orde Baru. Kairo adalah nostalgia bagi yang pernah merasakan pahitnya hidup di Orde itu. Sedangkan bagi kita- kita yang terlahir sebagai native-democracy di Orde Reformasi, Kairo adalah pengalaman baru yang amat sayang untuk dilewatkan. Yah, semacam karnaval kelilinglah begitu, rasanya belum lengkap kalau sekedar naik bianglala-nya, rumah hantunya mesti juga dicicipi sebagai pelengkap rasa.
Sedangkan dari sudut pandang saya sebagai pecinta literatur, bisa dibilang, menjadi warga Kairo di masa kini itu seperti membaca dengan nyata novel- novel distopia- fiksi, yang brengseknya setiap tokoh utamanya selalu serasa punya ikatan batin yang erat dengan saya sendiri sebagai pembacanya. Setiap fiksi- fiksi distopia selalu memiliki kekhasan atau kaidah umum yang mana tokohnya selalu digambarkan punya hasrat untuk memberontak, tapi tak berdaya untuk melakukannya, itulah pula yang saya rasa di sini.
Membaca bagaimana Winston Smith di 1984 selalu merasa was-was diawasi oleh teleskrin dan poster- poster Bung Besar‒ serasa menemukan kembaran yang punya rasa yang sama saat memandang wajah as- Sisi ada di mana- mana. Saat kesal harus sembunyi- sembunyi baca buku tertentu, saya benar- benar merasa jadi seorang Montag di Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury. Pun begitu saat gregetan melihat popok bayi menggenang di sungai Nil, saya merasa jadi Anna dan Nova di novel Jostein Gaarder.
Namun seberapa pun banyaknya kerutan di wajah Kairo hari ini, tetap saja saya jatuh hati pada salah satu adagium tentangnya di legenda Seribu Satu Malam: “siapa yang belum melihat Kairo, maka dia belum melihat dunia.” Kairo memang adalah paket lengkap. Nikmat dan kiamat berpadu di dalamnya jadi satu. Terutama bagi Jakarta, Kairo sebenarnya semacam palang pintu yang mengingatkan kita-kita selalu agar tidak keterusan‒ bablas kembali tertabrak lokomotif ugal- ugalan masinis Orde Baru.
*Tulisan pernah dimuat di Relawan.id
Maap, sepertinya tulisan ini bisa jadi dianggap kritikan oleh pemerintah mesir (menurut dugaan saya saja yg gampang was-was). Antum yg nulis ini gak khawatir apa2?
Di mana letak kritiknya? tulisan itu dibuat sebagai essai sederhana, bahkan terkesan seperti curhatan norak. Penulisnya banyak berbicara secara subjektif tentang pengalaman pribadinya. Tidak ada niatan sama sekali untuk mewakili. Semuanya nyata. Kalau pun ada unsur menjelekkan, bukannya suatu hal yang wajar, bicara tentang baik- buruk tinggal di negeri orang?, bukannya malah lebih aneh kalau yang kita ceritakan baiknya saja? penulis bercerita apa adanya. Kalau Anda mau ikut kontribusi ngirim tetang pengalaman baik, cerita- cerita unik di negara tempat Anda tinggal, kami akan sangat berterima kasih. Terima kasih sudah mau berkomentar.