Kala itu kondisi Mekah tidak menenangkan bagi umat Islam, pasca meninggalnya Khadijah (istri Rasulullah) dan Abu Thalib. Tidak hanya umat Islam, Rasul pun tidak seaman seperti sebelumnya. Penjamin kemanan dakwah, kini sudah meninggal dunia. Tidak hanya umatnya, kafir Quraisy mulai berani mengintimidasi, verbal maupun non-verbal.
Sahabat yang disiksa, dianiaya jelas memberi tekanan terhadap umat Islam yang minoritas. Kondisi ini memaksa Rasulullah sebagai pemimpin mencari jaminan sebagai perlindungan demi berangsungnya dakwah Islam. Hingga keputusan itu jatuh dengan hijrahnya ke Thaif untuk bertemu Bani Tsaqif. Thaif menjadi tempat yang strategis untuk kemaslahatan dakwah. Tidak hanya ditinjau dari keamanannya, Thaif juga memiliki kekayaan alam yang banyak diperebutkan pada masanya.
Mengapa bukan Habasyah dijadikan markas dakwah kala itu, bukankah itu lebih logis dan aman. Jaminan keamanan dari Raja Najasyi sudah diberikan sejak hijrah pertama umat Islam yang dipimpin Utsman bin Affan. Sedangkan ke Thaif belum tentu mendapatkannya, terlebih jarak yang dekat memungkinkan isu kebencian kafir Quraisy sudah tersebar ke sana.
Strategi ini tidak sembarangan, sebab kala itu objek dakwahnya adalah orang Quraisy, orang Arab. Pergi ke Afrika lebih terlihat melarikan diri dari pada melanjutkan perjuangan dakwah. Sehingga Thaif menjadi pilihan yang tepat bagi Rasulullah meskipun tidak ada jaminan permintaannya akan berhasil. Tidak ada yang dapat memastikan Rasulullah akan berhasil di Thaif kala itu. Seperti keyakinan umat Islam tentang kemenangan Islam yang entah kapan tibanya.
Rasulullah bertemu dengan pemuka Bani Tsaqif, tiga orang bersaudara, yaitu: Abdu Yalil bin Amer, Mas’ud bin Amer, dan Habib bin Amer. Rasulullah saw menjelaskan kepada mereka bahwa kedatangannya untuk mencari pembelaan dalam menyebarkan Islam dan menghadapi kaumnya yang menentangnya. Namun yang didapatkan justru perkataan yang merendahkannya. Rasulullah meninggalkan mereka dan berkata, “Rahasiakanlah apa yang telah kalian lakukan terhadapku”.
Kemuliaan hati Rasulullah terpancar, tidak ada dendam, fokus utamanya hanyalah dakwah dan mengajak pada kebaikan bukan mencari permusuhan. Sebab itu Rasulullah meminta agar merahasiakan percapan yang berisi merendahkannya. Beliau tidak ingin umatnya tahu, lalu memusuhi orang-orang Thaif. Namun, kebaikan itu dibalas dengan perintah pemuka Bani Tsaqif dengan melempari Rasulullah dengan batu. Sehingga terpaksa ia berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah.
Begitu pentingnya dakwah bagi Rasulullah hingga mengalahkan segala ego dan kepentingan individu. Bani Tsaqif memberi cacian yang luar biasa, jika kita mendengarnya rasa dendam justru tumbuh dalam hati kita yang penuh dosa. Rasulullah hanya berdoa, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Doanya didengar, malaikat menghadap Rasulullah menawarkan siksaan yang berkali lipat kepada orang Thaif.
“Apa pun yang engkau perintahkan, akan kulaksanakan, kalau kamu mau, saya akan benturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapa pun yang tinggal di antara keduanya akan mati terhimpit. Jika tidak apa pun hukuman yang engkau perintahkan, saya siap melaksanakannya.” malaikat menawarkan kepada Rasulullah.
Apa jawabannya?
”Saya hanya berharap kepada Allah SWT, andaikan pada saat ini, mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan kelak mereka akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah SWT.”
Ini bukan kebijakan yang keluar dari manusia biasa. Setelah darah mengucur dari bagian tubuhnya, itikad baik yang dibalas dengan hal yang sangat kejam, sirna begitu saja. Seakan dirinya tidak pernah disakiti, tidak ada sebiji dzarrahpun dendam dalam hatinya. Pertimbangannya mengalahkan ego, semua diputuskan dengan aspek prioritas. Kepentingan dakwah lebih utama melebihi sakitnya lemparan batu yang melukai tubuhnya.
Wallahua’lam bisshowab.