Sebagaimana kopi sudah banyak di-filosofi-kan oleh para bijak bestari, waktunya kini kafe juga didekati dengan kredo semacamnya. Karena yang tak kalah penting dari sekadar membidas penghuni tempat adalah membahas nilai yang melingkupi tempat itu sendiri. Makanya, kata Malik bin Nabi manusia bijak adalah mereka yang dapat leluasa “mendayagunakan tanah (turōb).. untuk dapat membangun visi- visi besarnya,”[i]. Manusia besar adalah mereka yang lihai membudidayakan tempat.
Jean Paul Sartre (1905- 1980)‒ seorang eksistensialis kenamaan dari Perancis‒ adalah salah satu yang memahami hakikat itu selagi dini. Setelah tempat cukur yang membuatnya menyadari wujud eksistensial ketampanannya yang dipantulkan kaca, celetukkan Raymond Aron‒ teman ngopinya‒ adalah yang seturutnya membuatnya lebih mendalami filsafatnya. Kata Raymond kepada Sartre sambil menunjuk gelasnya: “Jika Anda fenomenolog, seharusnya Anda bisa memfilosofikan koktail ini.”[ii]
Memang, kalau bukan ‘lari dari sesuatu’ para peziarah kafe pastinya ‘datang untuk sesuatu’. Sartre adalah yang terakhir. Ia datang ke kafe untuk mendayagunakan tanahnya‒ demi memupuk filosofinya dalam diskusi- diskusi hangat. Bersama sahabat setianya, Simone de Beauvoir, Sartre bukan hanya bisa menghirup dengan bebas wewangian kopi. Di Kafe, ia bisa dengan bebas menertawakan ke-absurd-an orang- orang dengan pemaknaan sendiri‒ sambil tutup kuping mendengar diktum orang kebanyakan.
Kafe, Kopi, Sufi dan Toleransi
Kafe memang adalah tempat yang pas dihuni oleh ragam orang yang mengusung pikiran. Nuansanya ragam, kafe tidak pernah memihak. Muda- mudi yang mendaras Das Kapital Karl Marx bisa duduk dengan tenang di pojok kanan. Di sebelahnya para Syabab pendamba khilafah sedang mengaji Nudzum Islamiyyah. Begitupun para kader Tarbiyah‒ syahdu mendengar wasiat amal murobbi-nya. Alih- alih saling menggulung, kutub- kutub pemikiran itu dapat duduk dengan nyaman dalam satu ruangan.
Seperti kopi yang tergolek di atas meja- meja kafe, begitupun pikiran yang beredar di sana; semuanya ragam cita rasa. Yang suka Arabika tidak bisa menghakimi mereka para penikmat Robusta hanya karena benci kafein berlebih. Begitupun sebaliknya, para penyuka Robusta tak punya kuasa menghujat penikmat Arabika hanya karena benci kadar gula yang bergempita. Pada akhirnya di kafe, orang- orang yang terjangkit diabetes harus bertenggang rasa dengan para insomnia.
Oleh karena suasana tenggang rasa itulah; menjajakkan pikiran di Kafe bisa jadi kesempatan yang amat menjanjikan. Revolusi kedai kopi adalah corak paling mendasar yang menggambarkan strategi para reformis (islāhi) seperti Malik bin Nabi dan Hasan al- Banna. Benabi muda adalah sosialita di Ben Yaminah‒ sebuah kafe di jantung kota Tebessa. Lewat diskusi- diskusinya di sana, Benabi jadi bisa mengenal dialektika dua kutub sentral pemikiran yang terus bergulat: konservatif dan progresif.[iii]
Begitu pula dengan Hasan al- Banna. Tentang kopi, di risalah-nya, secara metaforik ia mengutip perkataan Bernard Shaw yang mengesimpahkan betapa agungnya kepribadian Muhammad shalallahu alaihi wa sallam di matanya. Kata Bernard: “alangkah butuhnya dunia ini kepada seorang seperti Muhammad, yang dapat memecahkan berbagai persoalan pelik sembari meneguk secangkir kopi.”[iv] Tak ayal, al- Banna terlihat begitu yakin memulai dakwahnya dengan meneroka kedai- kedai kopi seantero Kairo.
Benar, kopi adalah cerminan insan- insan besar berpikiran tenang. Kopi menghangatkan jiwa, mengasah rasa, menajamkan firasat. Makanya Sufi selalu lekat pula dengan tradisi ngopi. Tak terkecuali sufi- sufi di Kairo, tentangnya Ibnu Abdul Ghaffar‒ penulis abad ke-16‒ menceritakan bahwa: “Mereka minum kopi setiap Senin dan Jumat, menyajikannya dalam wadah yang besar terbuat dari tanah liat merah sambil mereka menggumamkan lafaz-lafaz tertentu, biasanya La Ilaha Illallah.’’
Kafe adalah Gua Baru Ashabul Kahfi Zaman ini
Di tengah arus budaya pop yang tak berkesudahan, romantisisme tumbuh subur meninabobokan pikiran cemerlang persona di dunia. Muda- mudi yang harusnya digelorakan dengan tradisi ilmu pengetahuan, malah digiring untuk selalu jadi korban perasaan. Jika alur seperti ini terus dipertahankan, jangan heran kalau anak- anak peradaban Islam akan akrab berakhir seperti Werther di novelnya Goethe‒ yang bunuh diri sebatas karena putus cinta menjejaki hubungan haram.
Persona- persona Islam harus kembali mencari gua- guanya seperti para ashabul kahfi yang pergi untuk menyelamatkan iman. Bukan hanya perasaan, para persona itu juga harus diarahkan untuk menyelamatkan akal budi mereka. Karena kebenaran hari ini adalah yang konsisten masuk di akal. Kenyataan seperti itu tak mungkin digapai kecuali dengan menyatukan pikiran dalam diskusi- diskusi sengit meloloskan dalil. Kafe boleh jadi adalah tempat yang pas menyediakan suasana seperti itu.
Kafe adalah gua- gua baru tempat para persona menilik ragam permasalahannya. Bukan hanya sekedar ditangisi kemudian dilupakan, permasalahan dunia Islam yang disajikan di meja- meja kafe haruslah mendalam pantang hanya mengawang di permukaan. Diskusi sambil ngopi, semangatnya harus membuat segala sesuatu beralasan, punya latar belakang, sebagaimana dicamkan Galileo: “ukurlah yang dapat diukur, dan buatlah agar dapat diukur sesuatu yang tidak dapat diukur.” [v]
Kholaf bin Mutsanna pernah bersaksi: “kami telah melihat sepuluh orang berkumpul di Bashrah dalam sebuah majlis yang tidak pernah terjadi di dunia.” [vi] Jika majlis itu terlahir kembali, meja jenjang di kafe boleh jadi adalah yang mempersuakan kembali mereka. Sambil menyeruput aneka rasa shisha, seorang Syiah beradu syair dengan kerabat Sunni di sebelahnya. Pemuda Yahudi asyik bercengkarama dengan sejawatnya yang Nashrani. Berbeda‒ saking asyiknya, mereka sampai lupa mempermasalahkan itu.
Kafe adalah Miniatur Peradaban
Di kafe, perbedaan curam melarut seperti gula di pusaran secangkir teh. Semua diputuskan dengan sehat lewat dialog. Kafe menggambarkan betul apa yang Muhammad Khatami‒ mantan presiden Iran‒ tuliskan di bukunya The Dialog of Civilizations. Di sana ia berterus terang mengungkapkan kegembiraannya bisa duduk membersamai mahasiswa. “Semua urusan selalu dikembalikan pada aktivitas diskusi, menyimak, dan memahamkan,”[vii]begitu dedas Khatami‒ kagum.
Jika Sartre menemukan ketampanannya yang eksistensial hanya dengan memaku pandangan di cermin, persona Islam harusnya bisa lebih dalam memahami itu selagi dulu. “Hāsibū anfusakum qabla an tuhāsabū.”” Rajin- rajin bercermin untuk memerhati kekurangan diri adalah wasiat Umar bin Khattab untuk persona Islam jauh- jauh hari. Mungkin, masalahnya terletak saat kekurangan- kekurangan itu samar dicarap; karena persona Islam rabun menengarai aibnya yang direfleksikan kaca.
Bercermin di derasnya air yang mengalir memang lebih sulit ketimbang di air yang tenang. Di helaan kebisingan politik ibu kota, para persona memang sudah selayaknya sesekali memancangkan kaki ke sudut- sudut warung kopi. Bukan hanya karena ada Wifi, dalam secangkir kopi ada jejak filosofi dan para sufi yang berpikir sambil membersihkan jiwa, menyelipkan zikir di setiap kali seruputannya, mengaduk teori untuk menyelamatkan manusia yang sudah lama tenggelam dalam materi.
Dalam secangir kopi manusia bercermin tentang status kemengadaan diri. “Saya minum, maka saya ada”, Roger Secruton saja sampai berani menyelewengkan kata Descartes yang satu ini demi meyakinkan pembacanya. Sedikit aneh memang, apalagi kalau minum yang ia maksud adalah ‘minum- minuman’. Namun, apapun itu, ragam masalah eksistensial diri memang terkadang harus diselesaikan dengan tenang sambil menyilang kaki─ menyeruput, secangkir minuman, terutama kopi.
Allahu a’lam.
*Referensi:
[i] Malik bin Nabi: Syurut an- Nahdhoh, 75.
[ii] Gary Gutting: French Philosophy in the Twentieth Century, 107.
[iii] Malik bin Nabi: Muzakarot as- Syahid lil Qorn, 136.
[iv] Hasan al- Banna: Majmu’at ar- Rasail, 129.
[v] Jostein Gaarder: Dunia Sophie, 224.
[vi] Musthafa as- Siba’i: Min Rowa’i Hadhorotina, 54.
[vii]Muhammad Khatami: The Dialog of Civilizations, 52.
*Artikel pernah dimuat di Voa-Islam.