Oleh: Fingka Setiana Adiwisastra
PENAPEMBAHARU.COM — Hak asasi manusia terlahir sebagai gagasan, paradigma, dan kerangka konseptual. Hak ini dimiliki setiap manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya. Sejak pertama hadir ke dunia, seorang manusia harus percaya bahwa ada hukum alam, hukum universal atas pikiran atau kata hati, dan hak-hak alamiah yang dikenal sebagai hak asasi manusia. Manusia berkewajiban untuk menghargai hak asasi manusia. Bukan hanya di negara sendiri, melainkan berlaku untuk seluruh negara di dunia.
Dalam forum diskusi internasional PBB, telah menghasilkan beberapa piagam penting antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Deklarasi Wina (1993). Deklarasi Universal dimaksud sebagai standar universal bagi perilaku manusia, pedoman sekaligus skala minimum yang dicita-citakan seluruh umat manusia. Dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik pasal 6 menyatakan hak atas hidup. Ditambah lagi pasal 7 menyatakan hak untuk tidak disiksa. Keduanya memiliki sifat non derogable yang berarti tidak boleh direstriksi dalam keadaan apapun. Sementara dalam Deklarasi Wina mencerminkan tercapainya konsensus antara negara-negara barat dan non -barat. Bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dapat memicu perbedaan dalam penerapannya, sesuai keadaan masing-masing negara.
Bencana kemanusiaan tengah melanda muslim Uighur di Tiongkok. Bencana kemanusiaan yang mencerminkan sebuah ironi. Dimana negara yang seharusnya menjunjung tinggi hak asasi manusia ternyata harus bertolak belakang dengan melakukan kasus pelanggaran kemanusiaan di camp rahasia. Tempat yang tidak diketahui oleh berbagai negara karena negara di framming agar dapat memandang tempat tersebut sebagai tempat pelatihan anti terorisme dan anti radikalisme. Sebenarnya wujud menghargai hak asasi manusia harus sudah mulai dimunculkan sejak Tiongkok mendeklarasikan dirinya sebagai anggota PBB pada 1971. Pada dasarnya negara yang tergabung ke dalam PBB, mutlak harus menghargai hak asasi manusia. Tiongkok harus bernaung dibawah payung hukum PBB, yang tercantum dalam International Bill of Human rights.
Saat ini sebagian besar orang bukan lagi melihat kepada pemandangan yang sangat kejam dari genosida militer Myanmar terhadap suku Rohingya di utara Rakhine. Bukan juga soal Gaza, kota di kawasan Palestina yang terkurung dalam penjara. Tetapi saat ini semua mata tengah tertuju kepada Uighur, salah satu penduduk yang termarjinalisasi dan terdiskriminasi di Tiongkok oleh rezim totaliter. Begitu banyak penyiksaan yang dating menghampiri warga sipil Uighur. Mereka dipaksa untuk keluar dari kepercayaannya sebagai Muslim untuk menganut kepercayaan sosialisme. Sungguh ini sebuah kejahatan sadis yang diperbuat oleh tirani-tirani yang tak berperi kemanusiaan.
Ada suatu kaidah lama yang dapat digunakan sebagai pedoman: “jangan berbuat terhadap orang lain hal yang tidak ingin diperbuat terhadap diri kita”. Jika kita mempunyai hak atas hidup, maka kita memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak hidup setiap orang. Jika kita mempunyai hak atas keamanan, maka kita harus menciptakan kondisi bagi semua orang untuk menikmati keamanan kemanusiaan.
Konflik ini harus dihentikan secepatnya melalui kesepakatan damai. Pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini, harus segera mengambil tindakan tegas. Khususnya kepada PBB, organisasi yang mampu mengembalikan perdamaian dan mendorong penghormatan kepada hak asasi manusia.
Tentu bangsa kita Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengembangkan persaudaraan dunia dengan nilai keadilan serta keadaban, juga harus ikut berjuang dalam membantu menciptakan sebuah keamanan dan kedamaian untuk Uighur melalui perantara PBB.