Terdapat beberapa tipologi keluarga yang disebutkan dalam al-Quran yang dinisbatkan kepada kisah-kisah orang terdahulu, termasuk di dalamnya beberapa nabi. Sebut saja ada keluarga Nuh as, Ibrahim as, Yaqub as, Luth as diantaranya dari nabi. Ada juga keluarga Imron dan keluarga Firaun. Qoshosh dalam al-Quran memang I’jaz yang seharusnya memberi banyak pelajaran bagi umat manusia, termasuk bagaimana kedudukan keluarga dalam Islam.
Keluarga terbentuk setelah terjalinnya janji pernikahan, salah satu tujuannya adalah memiliki keturunan. Pernikahan dan cinta memang tidak bisa dipisahkan, namun perlu dikombinasikan dengan keturunan. Dalam sebuah hadits riwayat an-Nasa’I disebutkan dua kata terkait pernikahan, yaitu wadud dan walud.
Wadud sering diartikan sebagai kecintaan kepada suami. Sedangkan walud berarti subur rahimnya. Keduanya memiliki hubungan satu sama lain, satu lainnya menjadi perantara untuk mencapai salah satu tujuan. Rasulullah saw sangat memperhatikan perihal keturunan, karena tugas dakwah tidak boleh selesai sampai akhir masa dunia ini habis. Alwalud memiliki peran untuk melanjutkan risalah yang tak mungkin tuntas. Manusia terus beranak-pinak dan harus menjaga bangunan dakwah yang sudah tersusun rapi dengan keringat dan darah.
Orangtua sebagai sumbangsih pengajar, pengelola pendidikan pertama dalam hidup seorang anak harus menyadari lebih awal bagaimana kedudukan dakwah bagi dirinya. Perlu orangtua menyadari bahwa sistem dakwah sudah aktif sebelum segala sesuatunya dimulai. Aktivitas itu tidak semata untuk dirinya, melainkan seutuhnya untuk Allah dan agamanya. Jangankan seluruh fasilitas yang dimiliki, atau anak yang sembilan bulan dikandungnya, bahkan tubuhnya pun sepenuhnya diwakafkan untuk Islam.
Bukankah dakwah itu ibarat air. Ia berada di tempat paling tinggi, akan turun ke tempat paling rendah. Setiap penjuru akan dijangkaunya, tak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan jika kekuatannya muncuk tanggul sehebat apapun akan diterjang juga. Selagi ada kumandang adzan, dakwah akan terus mengalir dari hulu ke hilir. Sejatinya manusia ada di bawah sebab Allah swt menciptakannya, sebab itu manusia akan dibasahi kesegaran dakwah. Sampai akhirnya dakwah akan sampai pada ujung terendah setelah membasahi seluruh muka bumi. Kita hanya perlu mengikuti arus itu.
Jika orangtua sudah berada pada zona nyaman, hanyut dalam aliran tersebut, merasa aman dalam kehangatan dakwah. Sudahkah anak-anaknya berada pada lajur yang sama? Apakah orangtua membiarkannya menjadi sesuatu yang justru menghadang arus dakwah? Ujungnya batu penghalang itu terangkat dan terpental juga.
Sebaiknya orangtua memupuknya dengan pupuk terbaik, merawatnya, memperhatikannya setiap hari sehingga menjadi bunga yang indah. Tidak besar, namun memberi kenyamanan bagi semua orang. Saat arus dakwah itu tiba, bukankah bunga ikut bersama arus dakwah yang mengalir itu? Anak akan hanyut bersama indahnya arus dakwah sebagaimana kenyamanan orangtuanya yang sudah tenggelam lebih dulu.
Sesekali jangan pernah berpikir bahwa anak adalah titipan yang harus kita besarkan dan penuhi kebutuhan fisiknya. Anak memiliki pemikiran yang harus ditanami kebanggaan dirinya sebagai seorang muslim, kecemburuan hati saat saudaranya disakiti, kepedulian saat sekitarnya dizalimi. Anak seharusnya memliki feeling yang sama dengan orangtuanya. Bukan sekadar feeling sakit saat orangtuanya sakit, sedangkan ia masih tertawa melihat kepongahan zionis Israel terhadap warga Palestina. Begitulah tubuhnya memenuhi kebutuhan hati dan pikiran, sebab dakwah butuh pengorbanan itu semua.
Orangtua harus mulai beranjak dari biologis ke ideologis. Anak dibesarkan mungkin mencintai oragtuanya, tapi belum tentu mencintai apa yang dicintai orangtuanya. Anak akan semakin dewasa memiliki kematangan untuk berpikir dan memutuskan. Namun hasilnya bergantung kepada apa yang tertanam dalam hati dan pikirannya. Saat orangtua berhenti pada pertumbuhan biologisnya, maka ideologinya dikuasai oleh siapapun yang berada di sekitarnya.
Rasulullah saw berhasil mendidik keluarganya sehingga berada pada frekuensi perjuangan yang sama. Seorang dai harus paham marahil itu, bahwa anak adalah objek dakwah yang kelak akan melanjutkan keberlangsungan dakwah. Para sahabat pun begitu tenang saat harus menghadapi peperangan. Tidak ada lagi ketakutan walau harus mati di medan tempur, sebab istri dan anaknya sudah berada pada barisan yang kelak akan mempertemukannya kembali.
Wallahu a’lam bisshowab.