PENAPEMBAHARU.COM — Pada masa dimana umat Islam dimarginalkan dari kehidupan bernegara di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, sangat penting bagi kita untuk membaca karya ilmiah pemikir muslim, filosof Melayu, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuqeib Alattas, berjudul “ Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.”
Buku ini ditulis Alattas untuk menyadarkan umat Islam Melayu Indonesia akan sejarahnya, karena ia sangat heran betapa masyarakat Islam hari pada masa kini sangat jauh pemahamannya akan sejarahnya sendiri sebagai masyarakat Islam, dan hal inilah yang menyebabkan banyak intelektual dan cendikiawan yang lahir dari rahim masyarakat ini, malah mencari motif sejarahnya untuk membangun peradaban modern kepada kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, atau menjiplak kejayaan yang diraih oleh Peradaban Barat—dan realitas yang menyedihkan ini akan berimplikasi pada pembentukan pandangan hidup yang salah dalam jiwa masyarakat Islam, dan pandangan hidup yang salah akan berimplikasi pada kerusakan moral dan lahirnya para pemimpin palsu.
Menurut Alattas sejarah kita telah disimpangkan oleh teori-teori ilmuan Barat yang dibangun diatas landasan pandangan hidup yang berbeda dengan pandangan hidup Islam, lebih dari itu teori-teori mereka hanya ingin menegaskan bahwa masyarakat Melayu Indonesia baik pada masa Hindu, Buda ataupun Islam berada pada masa keterbelakangan, dan baru memasuki masa kemajuan setelah masuknya agama Kristen yang mereka bawa.
Dalam buku ini Alattas menyingkapkan kekeliruan metedologi penelitian para ilmuan Barat dalam mengkaji sejarah peradaban Melayu Indonesia. Ia menegaskan bahwa dalam mengkaji sejarah Islam di wilayah Melayu Indonesia, tidak bisa hanya berdasarkan pada aspek luaran saja, tidak adanya bangunan besar warisan sejarah seperti Borobudur atau Prambanan tidak bisa membenarkan pernyataan bahwa Islam tidak memiliki peran apapun dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan Melayu Indonesia, hal ini karena dalam pandangan Alattas bahwa dalam suatu peradaban ada unsur yang lebih inti daripada unsur fisik, yaitu unsur non fisik atau ruhaniyah. Dan sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa banyak peninggalan karya-karya Ilmiah baik berupa sastra, kalam, tasawwuf, fiqh, yang ditulis oleh para ulama Islam Melayu Indonesia yang sangat berpengaruh kepada terbentuknya pandangan hidup masyarakat setempat
Melalui buku ini Alattas berupaya untuk mengatasi kedua masalah krusial di atas; kebodohan masyarakat Islam akan sejarahnya dan teori-teori Ilmuan Barat yag telah menyimpangkan sejarah Islam dalam peradaban dan kebudayaan Melayu Indonesia.
Alattas mengatakan bahwa Islam telah memberikan peran yang sangat besar bagi perkembangan peradaban dan kebudayan Melayu Indonesia. Ketika masuknya Islam ke wilayah ini, masyarakat Melayu Indonesia telah menuju masa pencerahan sebagaimana ketika masuknya Islam ke wilayah Eropa yang membawa masyarakat Barat ke masa modern. Masyarakat Melayu Indonesia memasuki zaman baru, zaman rasionalisme, dan meninggalkan zaman tahayul dan khurofat.
Seketika itu juga terjadi pergeseran gerak sejarah masyarakat Melayu Indonesia dari India ke Timur Tengah. Pusat perdagangan telah meluas—yang sebelumnya hanya terbatas di Laut Hindia—mencapai Laut Tengah. Pusat peribadatan pun beralih ke Mekkah setelah sebelummnya ke India, begitu juga dengan pemikiran dan pilsafat telah tertarik oleh gravitasi Baghdad dan Kairo, bahkan para ilmuan Islam mampu menyentuh pemikiran fisafat Yunani Kuno melalui produ-produk pemikiran para ilmuan Islam di Timur Tengah.
Perang besar Islam dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan Melayu Indonesia adalah ditetapkannya Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Para ulama Islam telah memilih Bahasa Melayu sebagai pengantar untuk mentransfer ajaran Islam ke masyarakat Islam—tidak Bahasa Jawa yang telah menyebar di kepulauan Nusantara—karena kemurnian Bahasa Melayu dari unsur-unsur ajaran Hindu Buda, meskipun dalam Bahasa Melayu terdapat beberapa istilah yang telah bercampur dengan ajaran anamisme namun Bahasa Melayu sangat mudah untuk di islamisasikan dari pada Bahasa Jawa yang sudah menjadi bahasa Hindu Buda.
Begitu juga karya sastra dan khazanah keilmuan Islam berupa ilmu kalam, adab, tasawwuf, fiqh, dsb, diterjemahkan dan disyarah ke dalam Bahasa Melayu oleh para ulama kita.
Menurut Alattas berkembangnya Bahasa Melayu di kepulauan Melayu Indonesia–hingga menjadi bahasa Islam dan memasyarakat hingga ke lapisan bawah—telah menumbuhkan paham nasionalisme dalam jiwa masyarakat Melayu Indonesia. Dengan kata lain, secara tidak langsung Alattas ingin menyampaikan kepada kita bahwa kalau tidak ada Islam maka tidak akan ada Bahasa Melayu yang berkembang seperti sekarang, kalau tidak ada Bahasa Melayu maka para pemimpin Indonesia tidak akan mampu menyatukan masyarakat yang tersebar di kepulauan Nusantara dengan keanekaragaman suku, budaya dan bahasanya. Maka kalau tidak ada Islam, tidak aka nada Negara Kesatuan Indonesia.