Pendekatan Aksiologis
Ketika generasi pertama Islam mengalami fitnah besar yang menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam, muncullah kelompok yang keluar dari imamah dan ingin memaksakan kehendak kelompoknya dengan berbagai cara, sekalipun harus menumpahkan darah saudaranya sendiri. Mereka menerbarkan ketakutan dan melakukan kerusakan lebih dari apa yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal hari ini. Namun ironisnya, para pembesar sahabat dan umat Islam yang berdiri di belakangnya tidak menamakan mereka sebagai teroris (irhabiyyun) atau kriminalis (mujrimun), namun para sahabat menyebutnya dengan kelompok Khowarij, artinya kelompok yang keluar dari kepemimpinan yang telah disepakati umat.
Para sahabat menamakan kelompok itu dengan Khowarij karena tahu betul akar permalahannya: pertama. kelompok Khowarij itu melakukan kerusakan bukan karena motif keduniaan, akan tetapi karena perbedaan pandangan dalam masalah imamah.
Kedua, kata Khowarij tidak menimbulkan rasa ketersinggunan bagi mereka. Tidak juga menganggap mereka sebagai kriminalis atau teroris, apalagi mengeluarkan mereka dari Islam, sehingga kata Khowarij itu sendiri diakui dan diterima oleh mereka. Namun dari penamaan ini setidaknya para sahabat telah memulai untuk berkomunikasi dengan baik dan membuka pintu selebar-lebarnya untuk berdialog dengan kepala dingin.
Ketiga, ketika Ibnu Abbas berupaya ingin meluruskan pemahaman mereka, ia mendatangi mereka dengan penampilan yang rapi, terhormat, dan tidak biasanya. Ini adalah seni berkomunikasi agar lebih bisa diterima oleh mereka.
Kempat, kalau kita mendalami bagaimana dialog Ibnu Abbas, RA dan Ali bin Abi Thalib, RA. Maka kita akan menemukan bagaimana keduanya menggunakan narasi yang menunjukkan untuk mengajak kembali, bukan untuk memerangi, narasi memahamkan bukan narasi menjatuhkan atau menghancurkan.
Kelima, respon dari para sahabat dilanjutkan oleh para ulama salafu sholeh. Sekeras-kerasnya pemikiran Ibnu Taimiyyah namun ia tidak pernah mengkafirkan Khawarij, meskipun Khowarij mengkafirkan setiap muslim yang ada di luar kelompoknya.[1]
Dari dua pendekatan di atas kita bisa menarik kesimpulan bagaimana kita merespon dan menyikapi fenomena Gerakan Islam Radikal agar tidak terjerumus kepada kaidah meluruskan yang mungkar malah menimbulkan kemungkaran baru yang lebih besar, atau menghindari mafsadat malah terjerumus kepada mafsadat baru yang lebih besar. Berikut adalah beberapa poin dalam pandangan penulis bagaimana kita harus menyikapi fenomena ini:
Pertama, Dalam menyelesaikan masalah ini kita harus independen dan berdiri sendiri.
Kita tidak akan pernah berhasil menyelesaikan masalah Gerakan Islam Radikal selama dalam jalan penyelesaiannya kita merupakan bagian dari proyek negara adi daya, kita malah akan terjerumus pada saling menuduh, mencurigai dan bahkan perang saudara selama dalam proses mengatasinya kita berada dalam lingkaran tatanan dunia yang mereka rancang, baik di sadari atau tidak.
Lebih dari itu, luka sejarah yang terabaikan itu akan semakin akut, dan penyakit yang tak kunjung sembuh itu akan semakin konflek dan mewabah, menggerogoti tubuh umat Islam.
Maka penulis sangat menyayangkan ketika pihak kepolisian mongijinkan pihak asing untuk mengintrogasi kembali para terduga teroris yang sudah tertangkap. Bahkan lembaga yang ditugaskan negara untuk menanggulangi masalah ini seharusnya berani menolak kucuran dana dari asing.
Kedua, Kita harus mendefinisikan kembali Islam Radikal.
Hingga saat ini belum ada definisi Islam Radika yang baku sehingga sering kali disalah gunakan. Kita membawa misi memerangi teroris namun dalam prakteknya memaknai teroris sebagai gerakan keislaman, Islam militan, atau Islam politik, ahirnya kita memukul rata semua gerakan Islam. Hal inilah yang membuat kegaduhan di kalangan masyarakat sendiri.
Merujuk dari pendekatan epistemologi di atas, Islam Radikal bisa kita definisikan dengan indikasi sebagai berikut: a) mengkafirkan ahli kiblat, b) menghalalkan darah sesama muslim, c) menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Ketiga, Merubah retorika dan narasi kita dalam berinteraksi dengan Gerakan Islam Radikal.
Kita harus keluar dari terminologi dan label yang digunakan oleh negara-negara Barat terhadap gerakan Islam Radikal, seperti terminologi dan label “Teroris”. Menurut penulis menamakan gerakan Islam Radikalis dengan teroris tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan memperbesar masalah. sebab label ini menjadi bagian dari proyek besar negara adi daya. Dan melawan proyek ini sangat membanggakan bagi gerakan Islam Radikal. Maka yang ada malah semakin memperkuat keyakinan dan afiliasi mereka terhadap Islam Radikal.
Begitu juga dalam proses introgasi, aparat harus menghindari cara-cara kekerasan. Sebab menangani kekerasan dengan kekerasan akan menimbulkan kekerasan. Munculnya gerakan Islam Radikal di Timur Tengah merupakan metamorfosa gerakan Islam moderat setelah mengalami penyiksaan sengit oleh di dalam tahanan-tahanan oleh para penguasa tiran.[2]
Keempat, Memaksimalkan peran ulama dan mengadakan pembinaan yang inten bagi para tahanan Islam Radikal. Para ulama senior Ahlus Sunnah Wal Jamaah harus dilibatkan dalam memberikan pencerahan dan pemahaman Islam yang benar bagi mereka.
Kelima, Rehabilitasi para tahanan dan eks Islam Radikal.
Kita tidak bisa menyamakan pelaku teror dari Islam Radikalis dengan pelaku kriminal biasa. Karena motif mereka tidak murni untuk menebar teror, namun muncul karena pemahaman yang salah akan nash agama. Mereka tidak punya masalah dalam bab moral dan ibadah. Bahkan bisa jadi moral dan ibadah mereka lebih baik dari kita.
Oleh karena itu kepolisian tidak boleh memasukkan orang-orang Islam Radikalis ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) orang-orang kriminalis. Hal ini selain untuk menghindari menyebarnya paham Islam Radikal di LP yang ada, juga untuk menjaga sikologis mereka. Maka negara perlu menyediakan tempat rehabilitasi khusus agar bisa semaksimal mungkin menyadarkan mereka.
Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan sisi kesejahteraan para eks Islam Radikal dan acceptabilitas mereka di masyarakat. Agar mereka tidak terdorong untuk kembali lagi ke masa lalu mereka. Karena tidak sedikit orang-orang yang tergabung dalam gerakan Islam Radikal karena masalah finansial dan jauhnya hubungan mereka dengan masyarakat.
Demikian gagasan yang bisa penulis sampaikan, semoga tulisan singkat ini bisa menambahkan gagasan-gagasan yang ada dan memperkaya pemikiran kita dalam merespon dan menyikapi Gerakan Islam Radikal yang sangat mengancam eksistensi umat dan memperhambat laju gerakan kebangkitan peradaban Islam. Semoga Allah menjaga kita semua dari fitnah yang akan menghancurkan dan mencerai beraikan kekuatan kita. Amin!
Wallahu ‘Alamu Bisshowwab.
Referensi:
[1] Prof. Dr. Muhammad Robi Al Jauhari dalam pengantar buku Syarah Jauharotu Tauhid lil Imam Al Bajuri, Lajnah Ushuluddin, Univ. Al Azhar, 2015.
[2] Dr. Yusuf Al Qordhowi, Dzohirotu Al Guluw Fi Takfir, Daarus Syuruk, Kairo.