Oleh: Nurfarid
PENAPEMBAHARU.COM — Kadang fenomena yang terlintas di depan mata kita tidak pernah sampai menyentuh hati dan pikiran kita, karena kita hanya memandang sesuatu dari sisi luarnya saja. Bahkan kita sendiri tidak pernah menyadari kalau kita hidup di dunia yang tertata rapi, dan dikendalikan oleh negara-negara adi daya.[1]
Maka kita tidak perlu heran kalau selama 10 tahun lebih kita mengatasi masalah gerakan Islam Radikal kita belum sampai pada hasil yang diinginkan. Kita malah berdebat dan saling menuduh ketimbang menyelesaikan masalah yang ada. Tentunya setiap kita berharap pasca di gantungnya Amrozi tidak akan ada lagi peledakkan bom liar terjadi, namun pada kenyataannya kita masih menyaksikan serangkaian bom yang meledak di tempat-tempat umum dan beberapa aksi teror yang mengancam negeri kita. Bahkan lebih dari itu, pasca munculnya fenomena ISIS, kita menyaksikan bagaimana sebagian kelompok Islam Radikal di negeri kita secara terang-terangan ikut berbaiat kepada orang nomor satu di ISIS, tidak hanya sampai di sana, sebuah oprasi BIN berhasil menyingkap beberapa orang dari gerakan Islam Radikal yang pergi ke Irak-Suriah untuk bergabung langsung dengan ISIS.
Kalau kita membuat sepekulasi bahwa perang suriah berakhir, kemudian orang-orang Indonesia yang tergabung dalam ISIS kembali ke negeri asalnya, maka negeri yang dikenal dunia penuh ramah ini akan diramaikan oleh rangkaian aksi teror. Kalau secara logika, ISIS itu lebih kejam dari Al Qaida, maka para alumnus Suriah pun akan lebih ektrim daripada alumnus Afghanistan. Maka sangat tidak diragukan lagi bagaimana ancaman Islam Radikal terhadap keutuhan NKRI.
Di sinilah pentingnya kita mengkaji kembali upaya pemerintah dan masyarakat kita dalam merespon dan mengatasi problematika Islam Radikal, agar mampu menutupi celah-celah yang membuat kita lemah dan lengah, sementara gerakan berbahaya ini dari masa ke masa kian menjamur hingga ke pelosok negeri. Oleh karena itu melalui makalah singkat ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk berfikir lebih dalam lagi, mendiagnosa masalah melalui dua pendekatan; epistemologi dan aksiologi, kemudian menyerap gagasan bagaimana kita harus menyikapi masalah ini.
Pendekatan Epistemologi
Pendekatan epistemologi sangat penting bagi kita agar kita mempu keluar dari ‘faudho akal’ (cheos pemikiran) yang telah menyeret kita ke medan perang pemikiran memperdebatkan siapa teroris dan kelompok islam mana yang dikatakan radikalis.
Suatu pemikiran itu ada melampau suatu gerakan, karena ia adalah ruh daripada gerakan itu sendiri. Maka kepunahan suatu gerakan atau tokoh gerakan tidak berarti ahir dari suatu pemikiran, bahkan bisa jadi awal bagi kehidupannya.[2] Maka di sinilah letak pentingnya kenapa harus mengkaji lebih dulu pemikiran/idiologi suatu gerakan untuk menyelesaikan masalah dalam gerakan tersebut.
Ketika Pasteur di Prancis dan Kokh di Jerman sampai pada penemuan bahwa penyakit menular berpindah dari orang ke orang melalui kuman. Akan tetapi Malik Bennabi menunjukkan kepada kita bentuk lain dari suatu penyakit yang menimpa suatu lembaga, organisasi, ataupun masyarakat, dan dalam hal ini penyakit tersebut menular dipindahkan melalui generasi ke generasi.[3]
Penyakit masyarakat ini bermula dari suatu pemikiran yang menyimpang dari orsinalitasnya, dan kehilangan kemurniannya, hingga kemudian kehilangan efektifitasnya, maka seketika itu ia sampai pada kematiannya.
‘Pemikiran yang mati’ ketika diterlantarkan, secara beangsur-angsur akan membusuk, kemudian menular di masyarakat, dari masa ke masa, dan dari generasi ke generasi. Setelah sampai titik akut ‘pemikiran yang terlantarkan’ ini akan melakukan balas dendam menikam tubuh (maksudnya: masyarakat) yang menjadi wadah dari pemikiran itu sendiri.
Gerakan Islam Radikal yang mewabah di Dunia Islam, merupakan salah satu bentuk dendam ‘pemikiran yang mati’ yang terlantarkan. Ia adalah akumulasi dari ‘pemikiran yang mati’ yang tidak mampu mengembalikan efektifitasnya dan dinamikanya dalam menjawab tantangan zaman. Lebih dari itu–sebagaimana dikatakan Kishor Mahbubani–kelahirannya di era modern disulut oleh kelaliman penguasa diktator dan kedzoliman internasional yang dilakukan oleh kekuatan global.[4]
Maka di sini ada dua kaidah ilmiah yang akan membantu kita dalam menafsirkan bagaimana gerakan Islam Radikal itu muncul. Pertama, setiap sesuatu yang dibiarkan lama/terlantarkan akan kehiangan keasliannya, bahkan akan mengalami kerusakan. Kedua, setiap benda yang tertekan akan mengalami luapan sekuat tekanannya.
Dari uraian di atas setidaknya kita dapat menyingkap tentang hakikat dari Islam Radikal, yaitu gerakan yang dibetuk oleh ‘pemikiran yang mati’, yang menyimpang dari keasliannya, jauh dari kemurniannya, kehilangan kefektifitasannya, dan merusak/mematikan masyarakat Islam sendiri.
Kaidah di atas adalah kaidah umum yang tidak hanya berlaku bagi masyarakat Islam saja, tetapi juga berlaku bagi masyarakat dunia umumnya. Kaidah di ataslah yang mendorong Socrates melontarkan kritik pada apa yang disebutnya dengan ‘Pemakan Pemikiran’ (ideophages/akalatul fikroh). sebab bahayanya terhadap masyarakat tidak bisa dikompromikan.
…..
Bersambung..
Referensi:
[1] Malik Bennabi, Ash Shiro Al Fikri Fi Al Biladi Al Musta’maroti, cetakan ke- 11, Darul Fikri, Damaskus, 2014.
[2] Malik Bennabi, Musykilatu Al Afkar fil Alam Islami, cetakan ke – 7, Daarul Fikri, Damaskus, 2006.
[3] Ibid, hal 153
[4] Kishor Mahbubani, seorang intelektual dan diplomat Singapur menulis buku berjudul “Beyond the Age of Innocence, Rebuilding the Trush Between America and the World.” Dan dalam salah satu babnya ia menulis tentang “Dealing with the Muslim World: Five Western Mistakes” lima kesalahan startegi Barat dalam berhubunganya dengan Dunia Islam. Kelima kesalahan ini yang menyebabkan munculnya reaksi keras dari umat Islam.