Akhir abad ke-20 dan awal abad ke 21, agama diisukan sebagai sumber terorisme, kekerasan dan pertumpahan darah di dunia. Lebih dari itu, Pembacaan Sekular terhadap agama menjangkau aspek sejarahnya, kemudian membacanya dengan cara yang sewenang-wenang, bahkan memaksanya untuk mengatakan dengan penuh kebencian bahwa agama bertanggung jawab atas pertumpahan darah yang terjdi dalam lembaran-lembaran sejarahnya.
Meningkatnya fenomena keberagamaan dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia merupakan tantangan besar bagi Sekularisme dalam segala bentuknya. Setelah agama dianggap sebagai “candu rakyat”–oleh Komunisme pada awal abad ke 20—yang digunakan untuk mematikan gerakan revolusi. Maka pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke 21, agama diisukan sebagai sumber terorisme, kekerasan dan pertumpahan darah di dunia.
Lebih dari itu, pembacaan Sekular terhadap agama menjangkau aspek sejarahnya, kemudian membacanya dengan cara yang sewenang-wenang, bahkan memaksanya untuk mengatakan dengan penuh kebencian bahwa agama bertanggung jawab atas pertumpahan darah yang terjdi dalam lembaran-lembaran sejarahnya.
Buku “Fields of Blood” (Huqulu Dam / Ladang Darah) karya penulis Inggris Karen Armstrong adalah jawaban panjang untuk pertanyaan penting mengenai hubungan antara agama dan kekerasan.
Selama lebih dari 655 halaman, Armstrong menggambarkan kisah manusia dengan darah dalam peradaban yang berbeda, seorang penulis Inggris yang memiliki kosentrasi dalam keaagamaan, mantan biarawati Katolik, menulis lebih dari 25 buku, dan memiliki pandangan yang adil terhadap Islam.
Armstrong menempatkan hipotesis hubungan antara agama dan kekerasan dalam masa percobaan sepanjang sejarah perjalan manusia, untuk menyimpulkan bahwa kekerasan memiliki penyebab ekonomi, politik dan sosial di balik kekerasan yang disebabkan oleh agama. Armstrong menolak pernyataan Sekularisme bahwa agama adalah penyebab semua perang besar yang terjadi dalam sejarah dengan alasan adanya hubungan yang arat antara agama dan fanatisme mengarah kepada kekerasan.
Keberagaman Sebelum Modernisme
Armstrong menyingkapkan adanya perubahan dalam konsep agama di zaman sekarang. Sebelum abad ke 18 agama tidak pernah terpisah dari semua urusan kehidupan baik di alam realiats maupun dalam tataran konsep. Sebegaimana agama dalam peradaban pra-modern menjadi konfrontasi antara manusia dan Tuhan, ketika itu agama memiliki posisi yag sangat sentral dimana semua aktivitas kehidupan berporos kepadanya. Disinilah letak kesalahan metodologis kaum Sekularis karena membaca ulang sejarah berdasarkan prinsip pemisahan agama dan politik, dan melupakan kehadiran agama dan keterkaitannya dalam kehidupan manusia di masa lalu.
Armstrong mengungkapkan sebuah fakta sejarah bahwa negara tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa menggunakan kekerasan, kekuatan dan pemaksaan. Melalui pendekatan ilmu sosial ini akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses penggunaan agama oleh negara dalam praktik kekerasan sepanjang sejarah. Bahkan kita akan memahami kenyataan yang sebenarnya bahwa agama telah menjadi tantangan besar bagi negara untuk meancarkan kekerasan structural, atau setidaknya, agama berusaha mengurangi dampak kekerasan negara.
Menurut Amnstrong sikap Sekuler terhadap agama telah membuat agama untuk bertanggungjawab atas setiap kekerasan yang dilakukan negara dan mengabaikan peran negara yang sebenarnya dalam praktek ekerasan tersebut. Sejarah menegaskan bahwa ideologi Sekuler (Komunisme-Nazi-Fasisme) sangat keras dan banyak menumpahkan darah, sebagaimana sangat fanatik dan tertutup. Kekerasannya bisa dilihat dalam praktek penjajahan yang telah banyak melakukan pembantaian manausia, dan juga dalam Perang Dunia yang telah menelan jutaan nyawa manusia tak berdosa.
Armstrong mengkritik pandangan Sekuler tentang hubungan antara agama dan kekerasan, kemudiania menegaskan bahwa penyebab dan motivasi kekerasan itu sangat rumit, sehingga perang menjadi tidak terelakkan. Peradaban tidak akan terbentuk atau berlanjut tanpa kekuatan, pemaksaan dan kekerasan, dari awal mula kehidupan manusia menemukan stabilatasnya, setelah menemukan budaya bercocoktanam, prakti kekerasan structural lahir di tempat dimana distribusi kekuatan dan sumber daya tidak setara, dan hal itu tidak ada kaitannya dengan agama.
Kekerasan struktural telah dialami oleh semua peradaban pertanian kuno, di mana kaum elit mencuri sekitar 2% dari sebagian besar hasilpertanian yang diproduksi oleh mayoritas masyarakat untuk menjaga agar minoritas tetap hidup, sehinggahal inilah yang menjadikan peperang tidak bisa dihindari di masyarakat pertanian. Ketika munculnya system kenegaraan, maka perang telah menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Seketika itu kekuatan militer menjadi syarat berdirinya suatu negara dan kerajaan, bahkan beberapa sejarawan menganggap bahwa militerisme adalah tanda yang membedakan peradaban.
Oleh karena itu, menurut Amstrong agama telah menjadi bagian dari permainan peperangan dan perdamaian. Ketika peradaban dan ideologi dijiwai dengan agama pada masa pra-modern, maka secara otomatis perang membutuhkan elemen suci. Dulu pembunuhan dilapisi dengan mitos, termasuk dengan agama, hingga kemudian sang pembunuh menciptakan jarak yang mematikan antara dia dan musuhnya, di mana diperkuatlah jurang perbedaan, dan kemudian mengembangkan narasinya bahwa para musuhnya bukan manusia.
Buku ini fenomenal ini sangat penting untuk dibaca, karena akan banyak menyingkapkapkan kenyataan-kenyataan yang selama ini hilang dari pandangan manusia modern, bahkan dari mata manusia muslim yang sedang dibutakan oleh fitnah dan kedengkian. Banyak dari para masyayikh Islam yang berpecikan keagamaan begitu mudah dipermainkan dandimanfaatkan oleh para penguasa dictator hingga menuduhkan praktek kekerasan kepada para aktivis Islam yang memperjuangkan keadilan, padahal kenyataannya praktek kekerasan itu adalah permainan para penguasa untuk melanggengkan kursi kekuasaannya.
Wallahu’alam bisshowwab