Terma Islam Politik merupakan tema penting dan paling banyak dibicarakan dalam dunia politik. Said Harib dan El Halbawy memandang bahwa fenomena Islam Politik muncul karena ada campur tagan Barat, sebagian lain ada yang menghindari penggunaan Islam Politik bahkan menggantinya dengan terma ‘kebangkitan’ seperti Ridwan Sayyid. Sebagian pemikir lain memandang bahwa terma Islam Politik mulai diterima oleh masyarakat setelah digunakan oleh Syekh Rasyid Ridho untuk menyebut masyarakat Islam yang menerapkan syariat Islam. Lebih ekstrim lagi, Fahmi Jad’an menilai terma Islam Politik sebagai bid’ah idiologi modern dan sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Dan kita tidak akan pernah lupa, bagaimana upaya seorang pemikir ektrim sekular Muhammad Said Al Asymawi dalam memerangi terma ini baik dengan melalui mimbar ilmiah atau media masa.
Di lain pihak, kita juga menemukan beberapa ulama terkenal seperti Syekh Yusuf Al Qardawy mengcounter label Islam Politik dan menyalahkan pembagian Islam ke dalam bagian yang berbeda-beda, seperti Islam Moral, Islam Sosial, dsb. Menurut beliau politik adalah bagian dari syariat yang tidak bisa terpisahkan. Dr. Muhammad Imarah, Abu Yarub Marzuki, Muhammad Mukhtar Asy Syanqhithi adalah para pemikir yang terus melontarkan gagasannya untuk membela dan memperjuangkan eksistensi Islam Politik.
Diskursus Islam Politik terjadi lebih hangat pasca peristiwa Nakbah 1967 M, kemudian semakin memanas pasca peristiwa 11 September, hingga lebih memanas dan menjalar lagi pasca Revolusi Arab Spring, terutama setelah kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, karena kemenangan tersebut menjadi kunci yang membukakan peluang bagi gerakan Islam seluruhnya untuk memainkan peranya di pentas politik.
Islam Politik yang semakin menggeliat di Dunia Islam akhir-akhir ini dapat dilihat dari beberapa fenomena berikut ini:
Pertama, Kecemasan yang besar terhadap perkembangan aliran Politik Islam di Dunia Arab-Islam. Yang hadir di lapangan tidak hanya Ikhwanul Muslimin saja, namun muncul juga partai-partai politik dari aliran salaf dan sufi, terutama setelah gagalnya Sekularisme dan mundurnya Komunisme di akhir abad ke 20. Bahkan para loyalis Barat menyikapi fenomena ini sikap yang berlebihan, hingga pada tahap pemberantasan dan perlawanan baik dalam ranah pemikiran, politik maupun media. Kita bisa menyaksikan bagaimana penangkapan secara acak terhadap para aktivis Islam, penyiksaan yang tidak manusiawi di dalam tahanan, bahkan penjarahan dan pembekuan terhadap aset-aset yang selama ini menjadi sumber pendanaan pergerakkan Islam Politik.
Di Mesir, kaum islamis tidak diberikan ruang sedikit pun untuk bernafas, media-media social diawasi, para demostran anti pemerintah digel dan diintimidasi. Kebenaran hanya milik penguasa tiran yang tak menerima perlawanan dan kritikan.
Namun upaya permusuhan terhadap Islam Politik ini malah menjadikan masyarakat semakin tercerahkan dan memahaminya sebagai bentuk pembelaan terhadap rezim diktator dan kepentingannya. Bahkan banyak dari masyarakat Arab-Islam yang semakin yakin dan menaruh keparcayaannya terhadap Gerakan Islam dan menganggapnya sebagai penyelamat mereka dari realitas hidup yang sangat pahit.
Kedua, Kelompok Islam Politik sangat termotivasi untuk mampu menaiki kursi kekuasaan pasca Arab Spring, suatu motif yang diberikan oleh kondisi ‘kevacuman politik’, permintaan public, dan keinginan untuk menerapkan syariat Islam, dari sinilah Islam Politik merasa bertannggungjawab hingga masuk e panggung politik, mungkin itu sebagai suatu jebakan untuk menyingkap secara perlahan, dan untuk mengetahui rahasia dan kemampuan mereka. Apa yang menimpa kaum islamis di Mesir telah memberikan pengaruh yang sangat dalam di dunia Arab, dimana Islam Politik menjadi korban pembantaian dan intimidasi setiap harinya, sedangkan para diktator dan para penyeru maksiat di masyarakat telah berubah menjadi para pengkriti moral dan ahli HAM yang terus mengintai kesalahan dan kecewa dengan sampel keagamaan (yang ditunjukkan Islam Politik) tanpa menghormati akal manusia dan tanpa rasa malu dengan sikap mereka yang bertentangan dengan apa yang disampaikan di media-media social.
Tiga, Maraknya kajian pemikiran yag menafikan keberadaan politik dari agama, dan ini mendorong para pembela Gerakan Islam untuk menampilkan sikap kontra kemudian menetapkan legaitas politik dalam Islam dan mengkritik setiap orang yang ingin membatasi Islam dalam sisi akhlak dan ruh semata. Namun dalam prakteknya kedua kelompok yang berseteru ini berkumpul dalam dua keanehan yang penuh tanda Tanya; 1) Yang menapikan politik dalam Islam sangat jauh dari pemahaman yang sebenarnya tentang sejarah masa lalu umat Islam yang telah membuktikan bahwa praktik politik adalah bagian dari teori Istikhlaf dan memakmurkan bumi, kalau itu tercela, maka para sahabat dan tabiin tidak akan pernah berpolitik, sementara mereka adalah orang-orang yang paling dekat kepada ruh Islam.
Di bumi ini tidak pernah ada agama yang menolak ikut campur dalam urusan politik, hingga komunisme sekalipun, mereka telah mempraktekan idiologi politik lebih kencang dari orang beragama sendiri.
2) Di sisi lain, mereka yang membenarkan politik dalam Islam, telah membenarkan praktek yang menapikan prinsip toleransi Islam dan kesucian akidahnya, mereka mengharamkan pemilihan umum dan masuk ke dalam parlemen.
Muncul dan berkembangnya fenomena Islam politik di Dunia Islam disebabkan oleh pertentangan idiologis antara kaum islamis dengan partai-partai nasionalis sekularis/sosialis, yang menembus setiap ruang yang memungkinkan betemu atau saling memahami. Namun yang paling penting dalam kontek ini adalah bagaimana kita mampu menyongsong masa depan Islam Politik? Apakah Islam Politik teah berakhir dan tidak akan pernah muncul lagi? Atau ia dalam kesenyapan untuk menghindar dari serangan Militer dan koalisi keuatan regional maupun internasional, yang suatu saat ia akan bangkit dan muncul lagi ke permukaan?
Seorang penulis Arab Masfar megkaji ada dua sekenerai yang bbisa ditempuh oleh Islam Politik;
Pertama, Kegagalan Islam Politik dan akhir dari eksistensinya. Olifeh Rawo seorang peneliti pertama yang melontarkan gagasan “Post Islam Politik”, ia berpendapat bahwa agenda politik Islam sudah tidak mungkin lagi diwujudkan di dunia nyata, kecuali diterapkan hanya pada manusia aja, tidak pada kelembagaan, bahkan ia mengatakan bahwa logika yang dibangun oleh Islam Politik sendiri—ketika ingin menjadikan semua manusia baik—menunjukan tidak akan terwujudnya suatu negara, karena suatu negara/lembaga sudah tidak dibutuhkan lagi kalau semua manusia menjadi orang baik.
Kemudian datang setelahnya Jeal Kepel juga menilai bahwa Islam Politi yang merupakan suatu kupmulan yang merangkul semua elemen masyarakat yang beragam, membawa idiologi yang sama, hampir punah.
Maka dihadapan isu ini, Muhammad Abu Ruman melontarkan gagasannya tentang alternative Post Islam Politik, yang juga ditekankan oleh Ibrahim Al Gharobiyah, pakar Harakah Islam, yag kesimpulannya adalah, bahwa peta baru Islam Politik adalah ia harus beralih dari fouksnya terhadap jamaah kepada masyarakat, dari agenda yang bersifat pergerakan-piramid kepada linear-kerjasama, yang akan menjamin mereka untuk mempengaruhi masyarakat melalui lembaga negara untuk menghadapi pemerintah dan perusahaan yang dimilikinya.
Sebagaiana Islam Politik mampu merubah tampilan politiknya sesuai degnan tampilan partai sekular melalui tokoh-tokoh pembaharunya yang jauh dari kesan identitas keislamannya, sebagaimana yag diterapan PKK di Turki.
Kedua, sebagaimana dilontarkan oleh pakar Islam Politik, Husam Tamam, yaitu sekernario tiarap hingga hlangnya upaya perlawanan dari pemegang kekuasaan, militer dan negara diktator, setelah itu, Islam Politik muncul kembali dengan sifat perlawanannya terhadap pemerintahan represif dan pemimpin diktator, hal ini karena pemeritah yang ada dinilai gagal dalam mengatasi kemiskinan, krisis ekonoi kesenjangan social , yang membuat masyarakat semakin kecewa dan tercekik dengan realitas yang ada.
Di akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa realitas hari ini yang seakan menghimpit dan mencekik Islam Politik bukan lah akhir dari segalanya, Islam Politik akan terus eksis, baik dengan cara tiarap untuk kemudian bangkit setelah kegagalan yang dialami rezim-rezim diktator, atau menunggu masa depan yang lebih terbuka dan toleran terhadap agenda dan gerakannya. Dan itu semua tunduk pada hukum perubahan dan gerakan sejarah.