Suatu kerajaan akan sampai pada episode sejarah yang paling memanas ketika terjadinya peralihan kek\uasaan dari generasi anak ke generasi cucu.
Perkembangan perpolitikan Saudi tentunya telah mengejutkan kita semua. Rangkaian peristiwa telah menjadi huru hara yang memunculkan beribu tanda tanya. Namun bagi para pengamat, peristiwa-peristiwa tersebut tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bagaimana nasib negeri dua kota suci pasca sepeninggal anak-anak pendirinya.
Suatu kerajaan akan sampai pada episode sejarah yang paling memanas ketika terjadinya peralihan kek\uasaan dari generasi anak ke generasi cucu. Meski sederet aturan peralihan kekuasaan sudah dibuat, namun tidak banyak dari para raja ataupun putra mahkota yang mampu menahan nafsunya demi kelangsungan kerajaannya. Justru momen peralihan ini adalah celah sejarah yang membukakan puntu kepada mereka untuk mencapai kursi kekuasaannya, dan mungkin tidak akan pernah terulang kembali.
Hikayat Mahaberata yang merupakan buah karya Peradaban India telah mengabadikan polemic proses peralihan kekuasan ini, digambarkan melalui kisruh perebutan kekuasaan yang terjadi antara putra pandu dan para kurawa. Meski bukan kisah nyata, namun kisah yang menyejarah ini diangkat dari realitas kehidupan umat manusia. Sang Penulis tidak hanya ingin mengajarkan umat manusia tentang makna keadilan, kejujuran, amanat, dst sebagaimana yang dilakoni para Pandawa, tidak juga hanya ingin mengingatkan manusia bahaya dari kerakusan, kedzoliman, keserakahan, dsb seperti yang dilakoni para Kurawa namun, ia juga ingin mengajarkan kita akan prosesi pewarisan kekuasaan yang menimbulkan peperangan.
Dalam sejarah Peradaban Islam tidak sedikit dari proses peralihan kekuasaan yang dibrengi dengan pertikaian dan peperangan, terutama ketika legitimasi Pemimpin Sang Penakluk mendapat pengakuan dari Fiqih klasik, dengan landasan Adhorurotu Tubihul Mahdzurot—pasca peristiwa Shifin. Dan yang paling dekat kasusnya dengan kontek Saudi sekarang adalah Peralihan Kekuasaan Bani Umayah dari ‘generasi anak’ ke ‘generasi cucu’, pada masa Abdul Malik Bin Marwan. Sang Raja terakhir dari Dinasti Umayah ini berupaya untuk menurunkan kursi kekhilafahn Bani Umayah ke garis keturunannya, meski ada keponakannya yang lebih berhak.
Dalam kontek Kerajaan Saudi, Ketika berkuasa, Raja Abdullah yang menjadi Raja kedua terakhir dari ‘generasi anak’, menyadari sejak awal akan pentingnya proses peralihan kekuasaan ini. Sehingga ia merancang suatu strategi untuk mewariskan kursi kerajaan ke anaknya, sebagai antisipasi pangeran Salman ketika menjadi raja sepeninggalnya akan mewariskan kursi kerajaan ke garis keturunannya.
Strategi Raja Abdullah nampak ketika ia menempatkan orang-orangnya (Tuawjiry dan Meteb) di Garda Keamanan Nasionanl dan Dewan Kerajaan, yang dengan begitu bisa menjamin dan mengamankan kursi kerajaan untuk sang putra mahkota Meteb Bin Abdillah dari para putra mahkota lainnya. Tidak haya itu, dalam melancarkan strateginya, Raja Abdullah pun menciptakan jabatan wali waliyul ahdi, yang sekarang setelah dibekukan oleh Raja Salman, jabatan yang dibuat pada 2014 ini bisa terbaca bahwa ia tidak lain adalah kursi cadangan yang diletakkan mendiang Raja Abdullah untuk menggadang anaknya.
Namun ternyata Raja Salman yang naik ke kursi kerajaan sepeninggal Raja Abdullah mampu menyingkap strategi yang disiapkan Raja Abdullah dan keluarganya. Raja Salman dan keluarga pun tidak ingin kecolongan, serta berupaya merancang strategi untuk memangkas strategi Raja Abdullah. Maka tidak lama setelah Raja Salman dibaiat menjadi Raja, beliau memberhentikan Muhammad Bin Muqrin sebagai Waliyul Ahdi kemudian mengangkat Muhammad Bin Nayef sebagai penggantinya dan Mengangkat Muhammad Bin Salman sebagai wakilnya.
Kenapa Muahammad Bin Nayef? Bukan hanya kerana beliau menjabat sebagai Wali Waliyul Ahdi, tapi juga karena Bin Nayef tidak memiliki anak laki-laki, kedua keturunannya adalah perempuan. Sehingga ketika Muhammad Bin Nayef naik sebagai Raja, Muhammad Bin Salman akan naik menjadi Wali Ahdi, dengan harapan sepeninggal Bin Nayef nanti, Bin Salman otomatis menjadi raja menggantikannya.
Namun tidak seperti yang dibayangkan penulis, Raja Salman dengan keberaniaannya seketia memangkas jarak yang ingin ditempuhnya. Pada Juni 2017 Raja Salman memberhentikan Bin Nayef dari jabatan Wali Ahdi, dan digantikan oleh anaknya Muhammad Bin Salman. Ini adalah titik sejarah yang paling mengejutkan karena akan memberikan konsekwensi yang sangat serius bagi kelangsungan Kerajaan Saudi. Setidaknya apa yang dilakukan Raja Salman ini mengisyaratkan tiga hal penting:
- Raja Salaman telah melabrak aturan peralihan kekuasaan dimana sepeninggal ‘generasi anak’, maka putra mahkota yang paling tua dari ‘generasi cucu’ lebih berhak menjadi raja.
- Raja Salman secara tidak langsung telah memindahkan garis keturunan kerajaan, dari Saudiyah ke Salmaniyah.
- Kemungkinan terjadinya perang saudara sebagaimana halnya perang Mahaberata akan semakin terbuka lebar, dan kalau tidak dicegat, maka akan menjadi akhir hayat dari Kerajaan Saudi Arabia.
Yang tidak dipungkiri, Keputusan Raja Salman di atas telah menciptakan kegaduhan diinternal keluarga kerajaan, paling tidak peristiwa yang berlangsung secara dramatis ini tidak akan diterima olah blok Tauwjiry dan anak-anak mendiang Raja Abdullah (Pangeran Meteb dan Pangeran Turky), sehingga dari sini Tauwjiry Cs harus merancang strategi lain untuk memangkas strategi Raja Salman, dengan kata lain strategi untuk mengkudeta Raja Salman dan anaknya.
Oleh karena itu, penulis termasuk orang yang tidak percaya bahwa penangkapan para pangeran yang terjadi pada Ahad kemarin adalah murni upaya Pemberantasan Korupsi. Namun lebih dari itu, ia adalah upaya untuk menggagalkan rencana kudeta yang hendak dilakukan Tauwjiry Cs kepada Raja Salman dan anaknya.
Bagaimana pembenarannya?
Muhammad Bin Salman menerima informasi tentang upaya Tauwjiry Cs dari intelejennya sendiri, atau dari intelejen Amerika, atau dari intelejen Israel. Namun dalam pandangan penulis kemungkinan terakhir yang paling kuat, kalau kita hubungkan dengan kunjungan rahasia Bin Salman ke Tel Aviv, yang tidak lama setelah itu dilancarkanlah penangkapan para pangeran atas nama Pemberantasan Korupsi.
Kalau lah benar penangkapan para pangeran adalah murni Pemberantasan Korupsi, itu artinya Bin Salman sama saja dengan membuka kebusukan di keluarganya sendiri.
Namun yang perlu penulis tekankan adalah bahwa ketika penulis menghubungkan dinamika perpolitikan Saudi dengan kisah Mahaberata, tidak berarti penulis beranggapan bahwa Bin Salman Cs adalah para Kurawa dan Tauwjiry Cs adalah para Pandawa. Siapapun yang mengenal bagaiman sepek terjang politik Tauwjiry maka ia tidak akan pernah iba dan simpati sedikitpun kepadanya. Baik Bin Salman ataupun Tauwjiry keduanya sangat berbahaya bagi proyek gerakan kebangkitan Islam yang dihusung oleh para pembaharu sejak dua abad silam.
Hari ini, sangat sulit bagi kita untuk memastikan bagai mana nasib Saudi di masa depan, yang jelas berbagai peristiwa yang lebih mengejutkan lagi akan kita saksikan dalam beberapa hari kedepan, paling tidak Bin Salman perlu membuat isu besar yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat dari isu penagkapan para pangeran dan pengusaha, yang paling mudah terbaca—sebagaimana dalam analisa Wartawan Senior Abdul Bary Uthwan—adalah dengan menginvasi Libanon, kalau tidak menginvasi Qatar.
Kita hanya bisa berdoa semoga Allah SWT menjaga negeri dua kota suci, dan melindungi umat Islam dari fitnah dan perpecahan.
Wallahu ‘Alam Bishowwab.