Kajian tentang upaya Muhammad Iqbal dalam mengambil kritik turots sebagai langkah awal untuk membangun pemikiran Islam modern dan mewujudkan cita-cita kebangkitan Islam kurang sempurna kalau kita tidak mengkaji seperti apa bentuk kritikan Iqbal terhadap turots Islam. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin melengkapi kekurangan tersebut dengan memaparkan bebrapa sampel saja.
Muhammad Iqbal sebagai seorang filosof Islam mengakui bahwa pemikiran Islam telah mengambil manfaat dari Filsafat Yunan yang merupakan suatu kekuatan intelektual yang sangat besar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika Filsafat Yunan mampu mendominasi pemikiran Islam dalam kajiannya tentang tema-tema akidah dan studi Al Quran, hingga tersekat oleh pemikiran Yunan yang kajiannya hanya terbatas pada pandangan teoritis dan jauh dari praktek empiris.
Iqbal mengatakan bahwa “Sesungguhnya Filsafat Yunan—sebegaimana kita ketahui bersama—merupakan kekuatan intelektual yang sangat besar dalam sejarah Islam, akan tetapi kalau kita mengkaji secara detail studi/tafsi Al Quran, dan tulisan-tulisan para ulama kalam dengan berbagai alirannya yang berkembang dari ide-ide pemikiran Yunan, akan menyingkapkan kita tentang suatu hakikat yang sangat nampak bahwa Filsafat Yunan—walaupun telah memperluas cakrawala para pemikir Islam—namun ia telah menutupi akal para pemikir Islam dalam memahami Al Quran.”
Titik permasalahnya menurut Iqbal bahwa Socates dan para filosof setelahnya dari murud-murid Plato, metodologi kajiannya hanya terbatas pada perenungan akal semata, kemudian menyampingkan kekuatan empiris dan panca indra, dan menurut Iqbal hal ini jelas bertentanga dengan spirit Al Quran yang hingga makhluk kecil sepeti lebah pun menjadi objek kajian. Bahkan Al Quran mengajak kita untuk memperhatikan bagaimana pergerakan arah angin, apa hikmah dari pergantian siang dan malam, pergerakan awan, kemudian langit dan bintang-bintang yang berada di dalamnya yang beredar tanpa henti.
Iqbal juga berkata:
“Betapa jauhnya ide tersebut (pemikiran Yunan) dari ajaran Al Quran yang menjadikan pendengaran dan penglihatan sebagai sebaik-baiknya ni’mat Allah SWT yang diberikan kepada hambanya. Bahkan Al Quran menjelaskan bahwa Allah SWT akan bertanya kepada keduanya di akhirat nanti atas apa yang diakukannya selama di dunia.”
Kemudian Muhammad Iqbal sangat menyayangkan ketika kenyataan ini tidak disadari oleh para pemikir dan ulama pendahulu yang telah terbuai oleh Filsafat Yunan, hingga menjauhkan mereka dari logika Al Quran.
Iqbal berkata:
“Kenyataan ini telah dilewatkan oleh ulama Islam yang mengkaji Al Quran setelah terbui oleh Filsafat Klasik, hingga mereka mengkaji Al Quran menurut perspektif pemikiran Yunan.”
Mereka para ulama pada mulanya belum menyadari kenyataan ini, hingga dalam beberapa rentang waktu mereka membeo mengikuti trend pemikiran yang sejatinya bertentangan dengan spirit Al Quran.
Oleh karena itu Iqbal mengatakan:
“Dan selama lebih dari dua abad—sebelum nyata bagi mereka bahwa spirit Al Quran bertentagan dengan Filsafat Klasik, muncul dari pemikiran mereka upaya revolusi pemikiran yang pengaruhnya hingga hari ini belum bisa diketahui secara menyeluruh .”
Sebagaimana Platonisme dan juga yang lainnya dari Filsafat Yunan yang banyak memberikan pengaruh negative terhadap para sufi dan filosof isyraq ketika mereka menyeru kepada fana bukan kepada kekalan, menyeru meninggalkan materi, sebagaimana menyeru untuk lari dari kehidupan dunia, bukan menundukkannya. Bahkan Iqbal berpendapat bahwa yang menjadi penyebab ditinggalkannya amal dan jihad adalah dominasi Filasafat Yunan pada intelektualitas Arab.
Iqbal mengatakan:
“Kritikan saya terhadap Plato pada dasarnya adalah kritikan terhadap semua ajaran Filsafat yang menyeru kepada fana, bukan baqo, yang menyampingkan materi dan menganganggapnya sebagai ancaman terbesar bagi kehidupan dunia, hingga mereka menyeru untuk lari dari kehidupan dunia bukan menaklukkan dan menguasainya.”
Kritikan-ktikan Iqbal telah menjadi pukulan telak bagi para pemikir Barat modern seperti Ernest Renan yang mengklaim bahwa Filsafat Yunan lah yang telah membawa para pemiir Islam kepada kemajuan peradaban di abad pertengahan. Di sini kita melihat Iqbal memandang sebaliknya, justru Filsafat Yunani lah yang telah menutupi akal dan pandangan para ulama Islam dari ajaran Al Quran, dan teah memalingkan mereka dari metodologi empiris.
Pengaruh dari Filsafat Yunan di satu sisi, dan revolusi pemikiran atasnya yang terjadi pada periode mutakhir di sisi lain, telah memberikan pengaruh terhadap para filosof Islam dan ahli kalam, hingga kemudian hal inilah yang mendorog Imam Ghozali, Ibnu Rusydi, Asy’ariyah, mu’tazilah dan yang lainnya untuk membangun pemikiran Islam, yang pengaruh negative dan positifnnya masih terasa hingga hari ini.
Lantas seperti apakah bentuk kritikan Iqbal terhadap para pemikir dan aliran pemikiran Islam? Pertanyaan ini yang akan penulis jawab pada tulisan selanjutnya.
Adapun kritikan Muhammad Iqbal terhadap Imam Ghazali, Iqbal berpendapat bahwa “Sebagai imbas dari revolusi pemikiran di satu sisi, dan pengaruh dari kondisi sikologis di sisi lain, Ghazali telah membangun agama di atas pondasi-pondasi keraguan filsafat, yang mana ia adalah pondasi-pondasi yang tidak pernah aman dari akibat-akibat buruk yang menimpa agama, dan sama sekali tidak dibenarkan oleh spirit Al Quran.”[1]
Sedangkan kritikan Iqbal terhadap Ibnu Rusydi, Ia menilai Ibnu Rusydi telah merendahkan pandangan Al Quran tentang nilai jiwa manusia dan perjalanannya (setelah kehidupan dunia) karena ia mengikuti pendapat Aristoteles tentang kekelan jiwa manusia, yang mewariskan pandangan filsafat yang menyebabkan kelemahan dan kehancuran bashirah manusia.
Iqbal berkata:
“Ibnu Rusydi–yang merupakan lawan besar Ghazali, dan yang menyebarkan Filsafat Yunani menentang para revolusionis pemikiran Islam atas pemikiran Yunan—telah dipengaruhi Aristoteles hingga membuat madzhab yang menyatakan kekalnya Aqlul Fa’al,…akan tetapi menurut saya hal itu sangat bertentangan dengan pandangan Al Quran terhadap nilai jiwa manusia dan bagaimana nasibnya (setelah di dunia), maka, hilanglah pandangan Islam yang bermanfaat dan amat agung ini dari Ibnu Rusydi, dan tanpa disadari ia telah membantu berkembangnya filsafat dalam kehidupan yang mewariskan kelemahan, dan menutup bashirah manusia dalam memandang diri, Tuhan, dan kehidupan dunia.”[2]
Adapun kritikan Iqbal terhadap Asy’ariyah, Iqbal menilai bahwa mazhab Asy’ariyah–meskipun berada di posisi yang benar ketika menggunakan senjata mantiq Yunan, akan tetapi sangat disayangkan tujuan mereka hanya terbatas pada sisi difa’ (pembelaan), dan melewatkan sisi bina (pembangunan).
Iqbal mengatakan:
“Tidak diragukan lagi bahwa para pemikir Asy’ariyah berada di jalan yang benar, dan mereka telah mendahului filsafat idealism …walaupun tujuan gerakan Asy’ariyah hanya sebatas pembelaan terhadap pendapat-pendapat Ahlus Sunnah dengan bersenjatakan mantiq Yunan.”[3]
Sedangkan kritikan Iqbal terhadap Mu’tazilah, ia berkata:
“Adapun Mu’tazilah mereka hanya membatasi pengetahuan mereka tentang agama Islam hanya sebatas keyakinan-keyakinan semata, mereka lupa akan hakikat Islam sebgai agama yang dinamis, mereka tidak perhatian terhadap uslub-uslub dalam mengetahui suatu hakikat kalau hakikat tersebut tidak masuk akal, kemudian mereka menganggap agama sebagai rangkaian dari makna-makna logis yang berakhir pada sikap penafian semata..”
Di sini Iqbal mengingatkan kita pada bantahan-bantahan para ahli kalam dari Ahlus Sunnah ketika mereka mengatakan kepada Mutazilah bahwa ghuluw mereka dalam takwil telah menyebabkan pada penafian sifat dari dzat Allah.[4]
Iqbal juga mengkritik para ahlu kalam dan filosof Islam bahwa mereka telah tenggelam dalam terminologi-terminologi yang dibangun oleh Filsafat Yunan yang sangat jauh dari spirit Al Quran, baik dalam masalah hubungan antara teori dan praktek, maupun dalam masalah jiwa manusia.[5]
Kritikan Iqbal terhadap para pemikir dan aliran pemiran Islam yang secara singkat penulis paparkan di atas menunjukkan ketajaman pemikiran Iqbal dan pennguasaannya akan pemikiran Islam di abad pertengahan.
[1] Muhammad Iqbal, Tajdid At Tafkir Ad Dini fil Islam, hal 11
[2] Referensi yang sama.
[3] Referensi yang sama hal 12.
[4] Referensi yang sama hal 12.
[5] Badran, bin Al Haasan, Islamiyatul Ma’rifah, IIIT, vol 21 hal 57.